[59] : Restart?

9.4K 237 24
                                    


2 bulan kemudian

Aku membereskan barang-barang kecil yang tidak teratur di laci ketika Lisa menerobos kamar dan langsung duduk di tempat tidur.

"Loe beneran mau menetap di Surabaya dan gak bakal balik lagi kesini?"

"Gue bakal kesini kok."

"Gue tanya loe netep disana atau enggak?" Tanya Lisa lagi kali ini terdengar parau.

"Gue belum pikirin itu Lis,tapi budhe gue sih maunya gitu. Lagian Surabaya gak sejauh Aussi, loe bisa datang kapan aja, gue juga bisa kesini kapan aja."

"Claudy udah menikah dan stay di Aussi, dan sekarang loe ninggalin gue! Loe gak akan tahu gimana rasanya Ren, gue bahkan gak percaya ini bakal terjadi pada gue."

Aku berdiri dan memberi Lisa pelukan. Sahabatku ini menangis tanpa henti, seperti anak kecil yang makanan direbut.

"Kita masih bisa telepon-teleponan, seru-seruan di grup, atau liburan bareng."

"Tapi gue gak bisa mabuk bareng sama loe lagi,"

"Gue udah berhenti minum, ingat?"

"Kita gak bisa shopping bareng lagi,"

"Loe bahkan gak suka shopping."

"Tapi... gue bakal sangat kehilangan temen makan siang gue. Gue bakal kangen ngomelin loe. Gue juga bakal kangen macet-macetan di mobil sama loe. "Kata Lisa dibalik isakan.

Aku memeluknya semakin erat. Mataku sudah berkaca-kaca. Perpisahan ini ternyata lebih berat dari yang aku bayangkan. Bertahun-tahun persahabatan kami, tentu saja aku pernah merasakan seperti Lisa saat ini. Tepatnya saat Claudy menikah dan ikut sang suami ke Aussi.

"Ini berat juga buat gue Lis, tapi gue udah memilih terapi disana. Dan gue ingin sembuh juga dekat dengan keluarga gue." Kataku sambil melepaskan pelukan. Saat itulah airmataku jatuh, dan Lisa semakin histeris.

"Gue ngerasa jahat banget karena gak mau loe pergi Ren." Kata Lisa usai tangisnya berhenti.

"Gue yang ngerasa jahat karena ningglin loe."

"Tapi... alasan loe balik ke Surabaya bukan karena Bara, kan?"

Aku memilih bergeming.

"Udah dua bulan Ren dia gak ada kabar. Loe belum tahu dia dimana?"

"Apa pun yang dia lakukan gak ada sangkut pautnya sama gue Lis."

"Tap--,"

"Harusnya memang Bara udah gak ada di cerita gue. Gue terlalu memaksakan kehadiran dia dalam hidup gue. Kami udah selesai, tapi kami sama-sama egois dan menyakiti banyak orang."

Mataku tertuju pada cangkir yang masih menyisakan separuh cairan teh hijau. Cangkir yang sama, yang dipilih Bara ketika membuatkanku milktea untuk pertama kalinya. Kedekatan pertama kami. Asal dari semua kesakitan ini.

Untuk kesekian kalinya selama dua bulan ini aku mengingat terakhir kali keberadaan Bara di sampingku. Aku yang masih memejamkan, karena tidak ingin dia tahu kalau aku sudah siuman.

"Halo? Iya dengan saya sendiri om."

"..."

"Ehh, malam ini gak bisa deh om. Mungkin besok pagi saya usahakan."

"..."

"Ada yang lebih penting dari pada rapat."

"..."

"APA? RINDA? Oke Om, saya akan segera datang."

"..."

"Kalau tidak ada saya bisa pakai helikopter perusahaan!"

Last Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang