Aku menyudahi pertemuan bersama dokter Bisma dan berjalan lunglai memasuki hypermart. Aku berusaha tersenyum tipis pada petugas penitipan barang, lalu menarik troli menuju rak makanan kering.
Berkonsultasi kembali setelah dua tahun berhenti mendadak, sedikit membuat pertemuanku bersama dokter Bisma terasa canggung. Meskipun pria paruh baya itu tak menanyakan alasan kenapa aku dulu memutuskan terapi secara sepihak, namun rasa bersalah tak enyah begitu saja.
"Kalo kamu mau saya akan hubungkan dengan teman saya yang seorang hipnoterapy, mungkin mengembalikan ingatan kamu bisa berdampak baik."
"Kamu mulai memasuki tahap depresi Renata, dan ini akan sangat buruk bila tidak segera di tindak lanjuti!"
"Kamu tidak gila, hanya merasa tertekan dengan keadaan yang kamu alami. Pengaruh insomnia yang buruk juga bisa berakibat fatal."
Ucapan dokter Bisma terus berputar-putar, memaksa otakku untuk memikirkannya. Bahkan tanpa sadar aku sudah melemparkan beberapa makanan ke dalam troli.
Berusaha memgenyahkan gagasan sang dokter, aku fokus mengambil barang apa saja yang diperlukan kulkasku.
Saat akan menyebrang kearah rak buah dan sayur, mataku tak sengaja bertabrakan dengan punggung seseorang. Dan aku sangat yakin mengenal postur tubuh itu.
Dia bersama seorang wanita yang tingginya mencapai daun telinganya. Mereka sedang tergelak sambil memilih sayuran. Bahkan sesekali gadis di sampingnya menyikut bahu.
Berambut panjang kecoklatan yang di kepang. Dress berbahan levis dengan hiasan sabuk yang melingkari perut peraduan sempurna di kulitnya yang kuning langsat. Tanpa melihat wajahnya pun aku tahu wanita itu cantik. Emang kapan pria itu membawa wanita jelek. Dari setiap account twitter mantan-mantan teman wanitanya yang pernah pria itu perlihatkan padaku—lebih tepat kalau aku yang memaksa ingin tahu, semua wanita yang pernah dia kencani melebihi rata-rata. Lebih ukuran dadanya, lebih ukuran bokongnya, intinya lebih segala-galanya dari aku.
Entah kenapa perutku terasa kram. Dengan frekuensi detak jantung yang terus meningkat. Jangan bodoh Ren, ayo terus jalan! Bara gak bakal nyamperin loe meskipun dia lihat.
Ada yang nyelekit di dadaku, seperti ada yang mencubit. Mungkin hampir semenit aku berdiri diam memandang dua orang itu, yang masih asik dengan dunia mereka sendiri. gadis itu beberapa kali memilih sayuran, yang ditampik oleh Bara. Aku bisa melihat cengiran menggoda Pria itu yang dulu juga pernah dia tunjukan padaku. Desiran nyeri di dada ini semakin menyebar. Dan mataku mulai panas.
Masa bodohlah...
Saat gerak leher Bara akan menoleh ke belakang, yang sangat dipastikan mengarah padaku, dengan gerakan super kilat aku menunduk dan berbelok arah ke counter daging. Bodo amat, bodohlah, bodoh, bodoh, bodoh....
Bukan urusanku dengan siapa Bara berkencan kali ini. Bukan urusanku... Jelas-jelas aku sudah salah menempatkan hati pada pria brengsek macam dia.
Terimakasihbanyak.
==============
Aku mungkin tak akan seterkejut ini dan hampir menjatuhkan belanjaanku bila saja bukan Ryo orang yang kulihat ketika keluar dari lift. Pria itu bersandar pada pintu masuk apartemenku, menatap kosong pada dinding di seberangnya.
Tegang. Sejenak terlintas di kepalaku untuk kabur saja. Aku tidak siap sama sekali bertemu dengannya. Bahkan mungkin aku butuh mengisi banyak amunisi untuk berjumpa orang ini besok di kantor.
"Ren." Suara Ryo menggema di sepanjang lorong. Aku mendongakkan kepala takut-takut.
"Kenapa loe ada di apartemen gua?" aku membuat nada suara setangguh mungkin.
"Hanya ingin datang." Jawabnya santai.
"Kenapa? Kita tidak dalam hubungan yang mengharuskan saling bertemu di luar jam kantor, apalagi mengunjungi rumah satu sama lain."
Ryo memejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya melihatku lagi. Tatapan pria itu menceritakan banyak hal. "Tentang kemarin, ada yang ingin aku jelasin, Ren." Nada suara Ryo berubah, seperti ada rasa sakit di dalamnya.
"Apapun itu, gua gak mau tahu. Lebih baik loe simpan sendiri aja. Dan, tolong pergi dari apartemen gua."
"Ren?"
Dengan susah payah aku yang membawa dua kresek belanjaan mencoba mengeluarkan ponsel dan mencari kontak sekuriti yang sama sekali tak kuhapal.
"It's okey. Mungkin loe butuh waktu." Pasrah, itulah yang Ryo lakukan. Ia berjalan melaluiku dengan tampang lesu.
Sepeninggalan pria itu, tubuhku merosot. Tak kuat lagi menahan emosi yang bergejolak. Bukan, aku yakin bukan dia. Bukan Ryo orang yang selama ini ada di mimpi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Love (END)
General FictionWaktu adalah hal yang tidak bisa kau ukur. Tak bisa kau terka... Aku disiksa setiap malam oleh waktu. Dia menunjukkan satu hal yang tak bisa kukira awal dan akhirnya... Pria itu datang dan pergi seperti aku rumah peristirahatan yang kosong. taman te...