Scene 58-59: Don't Worry

226 6 0
                                    

58 INT. KAMAR RIZKA - MALAM

Rizka masuk ke dalam lebih dahulu, diikuti Ben yang kemudian menutup pintu. Hal pertama yang Ben lakukan adalah mencari-cari sesuatu yang dikenalinya. Dan akhirnya ia menemukannya di pinggir meja di sebelah tempat tidur. Sebuah boneka beruang sebesar tangan.

RIZKA

"Bagaimana menurut Kakak?"

Rizka sudah berdiri di sebuah kursi meja belajarnya, mengangkat lukisannya di dekat dinding di atas meja belajarnya.

BEN

"Kamu kenapa manjat-manjat begitu? Sini biar Kakak saja yang letakin."

Rizka memberikan lukisan itu pada Ben. Ben naik ke atas kursi.

BEN

"Belum ada pakunya?"

Rizka menggeleng.

CUT TO:

59 INT. KAMAR RIZKA - MALAM (CONT'D)

Ben memaku dindingnya. Ia memberikan MARTILNYA pada Rizka dan sebagai gantinya ia menerima lukisan yang ia gambarkan sendiri untuk digantungkan disana.

OVER THE SHOULDER:

Ben turun dari kursi dan perlahan mundur menjauh di dekat Rizka untuk memandangi letak lukisan itu. Lalu Ben berkata sambil berpaling pada Rizka.

BEN

"Tadi kamu bilang ada yang mau diomongin."

Keduanya sempat berpandangan sebelum Rizka memalingkan wajahnya perlahan ke depan-menjauhi Ben, lalu beranjak naik ke atas tempat tidur.

Rizka melipat kaki di ranjang. Ben duduk di sebelahnya dengan kaki yang menyentuh lantai.

RIZKA

"Iya Kak, aku mau bicara tentang yang tadi pagi-di meja makan."

Ben mendengarkan.

RIZKA (CONT'D)

"Aku bukannya ingin mengatur Kakak atau bagaimana-aku minta maaf jika nantinya kakak pikir begitu. Tapi menurut aku apa tidak sebaiknya Kakak mencoba mengalah sama Papa? Aku pikir Papa ..."

BEN

"Kakak mengerti maksud kamu, Rizka. Kakak paham kondisinya. Tapi Kakak harus mengalah bagaimana? Kamu ingin Kakak berhenti melukis?"

RIZKA

"Tidak Kak. Bukan itu maksud aku. Papa sakit, kita-terlebih Kakak-tidak seharusnya membebani pikiran Papa seperti itu. Papa butuh ketenangan."

BEN

"Jangan berkata seperti itu seolah-olah Papa pernah balik peduli padamu, Rizka. Papa bahkan tidak pernah menanyaimu di meja makan. Kamu ingat itu."

RIZKA

"Ini bukan tentang aku, Kak. Papa peduli dengan Kakak, dengan Kak Adam dan Kak Martin. Anak-anaknya. Itu intinya. Aku iri sama Kakak bahkan setelah sepuluh tahun lebih dibawa keluarga ini karena itu. Papa hanya ingin Kakak menjadi orang hebat. Aku tahu Papa salah dengan terus-terusan keras kepala dengan keputusannya tanpa mempertimbangkan kemauan anaknya. Tetapi lihat sisi positifnya, Papa peduli sama Kakak."

BEN

"Peduli itu tidak memaksakan kehendak-seolah dia yang paling benar. Peduli itu tahu kapasitas orang-orang yang dipedulikannya."

RIZKA

"Kalau begitu Papa percaya kapasitas Kakak lebih dari sekadar melukis."

BEN

"Jika Papa percaya sama Kakak, untuk apa Papa memasukkan kamu ke jurusan yang sama dengan Kakak, Rizka? Lihat Kak Adam dan Kak Martin, mereka sendiri-sendiri. Kak Adam di bisnis, Kak Martin di kedokteran. Lalu kenapa saat giliran Kakak, ada kamu di sastra Inggris? Seolah-olah salah satu dari kita hanya back-up jika seorang yang lain gagal. Dan dilihat dari potensi di antara kita berdua, tentu saja itu bukan kamu."

BEN (CONT'D)

"Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Kamu lihatkan Kakak juga tidak sampai yang melakukan yang aneh-aneh. Kakak masih tetap hadir kuliah dan belajar. Kakak tahu apa yang harus Kakak lakukan."

BEN (CONT'D)

"Sekarang lebih baik kamu kerjakan tugas Sir Hendra-jika ada. Kamu tahu kan apa hukuman jika tidak mengerjakan tugas darinya?"

RIZKA

"Sudah aku selesaikan dua hari lalu."

Ben memandangi dari tempatnya.

BEN

"Bagus kalau begitu. Semangat belajar, hah? Kakak mau balik ke kamar. Kamu istirahatlah-dan jangan membahas ini lagi."

Ben keluar dan menutup pintu. Rizka menerawang ke depan. Tak lama pintu kamarnya kembali terbuka.

BEN (CONT'D)

"Kamu benar-benar sudah mengerjakan tugas Sir Hendra?"

Rizka memandangi Ben.

CUT TO:

Cerita KeluargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang