PROLOG

266 16 4
                                    

Penonton bersorak-sorai membahana. Hampir semua wajah berpaling ke arah penunjuk waktu di scoreboard. Sembilan puluh menit udah habis, dan kini injury time udah jalan 2 menit 30 detik dari 3 menit yang direncanakan.

Dengan kata lain, tiket ke Divisi I Liga Indonesia dari hasil babak playoff Divisi II telah 97% ada di tangan. Tinggal menunggu detik-detik akhir pertandingan, maka hasil kerja keras selama delapan bulan terakhir ini akan terwujud nyata.

Elan menengok ke arah penonton. Ia tersenyum tipis. Wajar kalo mereka histeris gitu. Persikas Kabupaten Semarang emang bukan sebuah klub besar. Sekadar bisa lolos ke Liga Nasional Divisi II aja udah merupakan suatu peristiwa hebat, apalagi kini mereka hampir pasti merebut jatah terakhir dari tiga tiket promosi ke Divisi I untuk musim depan.

Skor masih menunjukkan angka 1-0 untuk Persikas hasil bidikan Indra sang striker pada menit ke-12 tadi. Tampaknya malam ini takdir emang berpihak ke kubu Persikas, soalnya para pemain Tarakan FC sendiri nampaknya udah pasrah bakalan pulang membawa kekalahan.

Bola keluar untuk keuntungan lawan. Mereka akan melakukan lemparan ke dalam persis dari garis tengah lapangan. Elan menyumpah pelan karena sempat berpikir, apa sih yang mungkin akan terjadi dalam 30 detik?

Waktu setengah menit akan berlalu dengan cepat, tapi jika Tuhan emang menghendaki, apa aja tetap bisa terjadi.

Elan berlari cepat sekali mundur menuju daerah kotak penaltinya ketika bola dilempar dengan agak desperate jauh sekali mengincar penyerang lawan yang berdiri nyaris tanpa pengawalan berarti. Ia masih sempat mendengar dari pinggir lapangan, pelatih Persikas Pak Alfian berteriak heboh kayak disengat kalajengking,

"Pressing! Pressing, Guoblok!!"

Elan juga kayak kena sengat lipan. Dua posisi centre back Persikas yang ditempati Gani dan Herman nggak cepat melakukan pengawalan karena mereka nggak mengira lemparan ke dalam yang dilakukan setengah ngawur itu ternyata tepat kena sasaran.

Kini, kedudukan sang striker lawan bernomor punggung 8 itu sangat terbuka menuju kotak penalti. Seandainyapun dia nggak bisa melakukan penetrasi ke dalam, tendangan cannonball-nya sangat mungkin bisa membahayakan Sandi yang berdiri di bawah mistar gawang Persikas.

Si nomor 8 menerima bola dengan dada. Gani dan Herman serempak menyongsongnya. Yang mereka nggak sempat lihat, bahaya datang mengancam dari titik yang nggak pernah mereka duga sebelumnya.

Attacking midfielder lawan yang bernomor 12 berlari sekuat tenaga sambil mengangkat tangannya. Elan membelalak kaget. Kini Pak Alfian udah bukan lagi berteriak, tapi berkaok-kaok seperti ayam hendak disembelih.

Akan ada peragaan umpan tik-tak one-two touch antara nomor 8 dengan nomor 12 untuk mengelabui Gani dan Herman yang kadung maju berbarengan. Elan melesat memburu si nomor 12 tepat saat bola diumpan datar ke sana.

Berkejaran dengan laju bola hanya dalam kesempatan sepersekian mikrodetik, Elan melakukan sliding tackle sekuat tenaga—nyaris mendekati istilah "nekat". Arahnya udah tepat, sayang ia datang terlalu cepat.

Elan masih sempat mendengar dirinya sendiri mendesuh kaget karena yang ia hajar bukan bola, melainkan pergelangan kaki si nomor 12. Pemain tengah yang sangat lincah itu jungkir balik mengenaskan sambil mengeluarkan lolongan keras. Ada suara berderak. Mungkin tulang tungkainya patah.

Elan jatuh bergulingan di rumput stadion yang basah oleh daya luncurnya sendiri saat melakukan tackle berbahaya itu. Ketika ia mampu bangkit berdiri lagi, wasit tahu-tahu udah ada di depan hidungnya sambil mengacungkan kartu merah dengan sorot mata mencorong ganas seperti iblis!

Nafas Elan tersedak di kerongkongan. Ternyata emang benar, ada yang terjadi dalam 30 detik itu! Dan hal paling jelas yang ia ingat dari pertandingan itu adalah umpatan kasar Pak Alfian.

Bukan sembarang umpatan, karena yang ituditujukan untuknya.    

The Rain WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang