NINE

53 5 0
                                    

Elan melangkah keluar dari auditorium dengan langkah bergegas. Ia lega akhirnya rapat dengan anak-anak Kine Klub soal rencana bikin film indie kelar juga. Masalahnya, ini udah hampir jam 1 siang, padahal ia belum sempat sarapan sejak dari rumah tadi. Gara-gara terlalu heboh berangkat, ia cuman sempat mencocor beberapa potong biskuit di meja. Perut mana tenang kalo jatah sarapan cuman diisi biskuit?

Jadi sekarang yang terpenting adalah secepat mungkin melintas keluar menuju trotoar Imam Bardjo untuk mengisi perut dengan tahu gimbal, batagor, atau bubur ayam.

Tapi sebelum ia sempat berlarian menuruni telundakan di beranda auditorium, sesuatu membuatnya membatalkan semua langkah dalam sekejap.

Sebab Wening duduk menyendiri di salah satu pojokan sambil membaca buku Chicken Soup. Sepertinya dia sedang menunggu seseorang.

Meski mencoba untuk nggak peduli, tapi mau nggak mau Elan tetep mendekat juga.

"Nunggu siapa?"

Wening menoleh.

"Kamu."

Kedua alis Elan terangkat, "Aku?"

"Ya. Mau nggak kamu nolongin aku?"

"Tergantung. Kalo nolong minjemin duit, jelas nggak bisa. Saat ini aku bener-bener lagi bokek."

Wening ketawa pelan, "Nggak lah, bukan urusan duit! Aku cuman pengin dianter. Bisa?"

"Ke mana?"

"Citraland, atau Plasa Simpanglima, terserah. Aku mau beli HP buat papaku. Bukan aku beliin papaku. Dia cuman nitip dibeliin karena nggak sempat beli sendiri. Aku butuh saran, soalnya aku nggak tahu apa-apa soal model-model HP paling baru."

"Sekarang?"

"Ya iya lah. Masa ntar Lebaran? Sekalian aku pengin bayar utang yang kemaren."

"Utang? Yang mana ya?"

"Acara makan yang nggak jadi kemaren. Kalo sekarang pasti jadi."

Elan terdiam sejurus, "Nanti dulu! Kamu pengin selingkuh atau sengaja nyari korban untuk dipukuli Yoga sampai setengah mampus?"

Wening tertawa renyah, "Tenang! Dia lagi pergi kok. Pulangnya baru Minggu malam. Jadi sepanjang weekend ini aku bisa agak bebas dikit."

"Pergi? Ke mana?"

"Ke Cirebon. Ada sodaranya yang tunangan. Dia jadi panitia, makanya hari gini udah harus standby di sana."

"Kok kamu nggak ikut?"

"Kan pagi tadi aku ada rapat dengan anak-anak fotografi. Kalo nggak ada sih, harusnya sekarang ini aku ikut orang rumahku ke Jogja."

"O, iya."

Wening bangkit berdiri dan memberesi buku-bukunya.

"Yuk!"

"Tapi aku nggak bawa helm cadangan."

"Ya udah, jalan aja. Yuk! Kalo jalan, sampai di sana nanti pasti kita udah lapar, jadi langsung nyari warung dulu."

"Wah, sekarang aja aku udah lapar."

"Nah, itu malah lebih bagus!"

Akhirnya mereka jalan berdampingan meninggalkan auditorium ke downtown Simpanglima. Jarak antara kampus Undip di Pleburan dengan Simpanglima emang deket banget ditempuh pake jalan kaki, apalagi kalo jalannya bareng orang yang punya arti khusus buat kita.

Siang emang panas terik dan bikin bete, tapi semua jadi nggak ada artinya.

Hanya saja, Elan melintasi sepanjang Jalan Imam Bardjo dan belok kanan lewat Erlangga dekat kantor pos sambil sama sekali nggak mudeng pada dirinya sendiri. Dulu, ia rela membayar berapa aja dan dengan apa aja asal bisa ngeluyur keluar cuman berduaan tok ama Wening kayak sekarang ini.

The Rain WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang