TWENTY THREE

44 3 0
                                    

Elan tengah ngobrol ngalor ngidul sambil bercanda jorok dengan teman-teman seangkatannya di koridor kampus Komunikasi ketika tiba-tiba muncul sesosok makhluk cantik bertubuh ramping dan agak jangkung menghentikan obrolan seru mereka.

"Lan!"

Elan menoleh. Yang nongol adalah Wening.

Pandang mata iseng langsung terpusat ke satu titik itu. Wening emang udah lama jadi inceran orang satu kampus Pleburan.

"Sibuk nggak?"

Elan menggeleng, "Enggak. Mau pulang, tapi masih males."

"Ikut, yuk!"

"Ke mana?"

"Ayo, ikut aja! Penting."

Suitan dan gumaman menggoda mulai terdengar. Terlebih ketika Wening melangkah maju dan menyeret tangan Elan menjauh.

"Bentar ya? Elan-nya aku pinjam dulu," ia mengerling nakal ke arah geng Elan.

Suasana udah sepenuhnya gaduh saat mereka berdua menjauh pergi. Bahkan ada yang iseng menyanyikan wedding march dengan suara keras menggelegar. Elan dan Wening ketawa ngakak.

Mereka keluar dari kampus FISIP dan menuju tempat biasa: pinggiran auditorium. Elan mengamati Wening dan heran karena kelihatannya ada yang berubah pada diri gadis itu. Tetep cantik seperti biasa, tapi tampak jauh lebih hidup karena roman mukanya cerah dan berbinar-binar penuh energi.

"Kamu kok kelihatannya happy banget hari ini," celetuknya. "Ada apa? Menang lotere?"

Wening tertawa manis. Ia menjawabnya dengan memamerkan kesepuluh jari dari kedua tangannya.

Elan tentu saja heran, "Ada apa sih?"

Mereka sampai di telundakan auditorium dan duduk berdempelan erat. Beberapa kelompok anak-anak lain juga sedang nongkrong dan ngerumpi di sekitar mereka.

Wening memamerkan jari-jemarinya lagi.

"Liat ada cincin nggak di sini?"

"Enggak."

Kesepuluh jari lentik gadis itu emang polos dan bersih dari hiasan dalam bentuk apapun.

"Emang kenapa sih?"

"Kemaren-kemaren aku pake dua cincin. Yang satu, cincin perak dari Yoga pas dia pergi ke Bali. Yang satunya lagi, cincin monel beli di Jogja pas aku dan dia jalan-jalan ke Malioboro. Dua-duanya aku banting ke lantai rumahnya tadi malam!"

Wening mengucapkan kalimat itu sambil tersenyum bangga.

Elan membelalak tak percaya, "Kamu ke rumahnya? Tadi malam?"

"Ya!" Wening mengangguk mantap. "Aku masuk rumahnya tanpa permisi. Dia lagi makan malam bareng keluarganya. Yoga bengong dan ketakutan sekali melihatku. Lalu aku banting tu cincin sambil tereak 'Semua udah selesai! Kita putus! Aku nggak mau hidup sama manusia kejam yang suka main pukul kayak kamu!!'. Sebelum dia sempat menjawab, aku langsung keluar dan minggat secepat mungkin!"

Elan terhenyak kagum. Dipandanginya Wening lekat-lekat.

"Wow! Bener?"

Wening mengangguk.

"Abis itu aku ketawa ngakak dan menjerit-jerit histeris di mobil. Rasanya puas. Puaaaaaaaasss... buanget!! Rasanya bebas. Merdeka! Rasanya kayak baru aja menang bertarung lawan monster yang guedeeee buanget!!"

Elan tertawa sambil mengacak-acak rambut halus Wening.

"Monsternya ya diri kamu sendiri. Ketakutan kamu sendiri. Congratulations! Kamu baru aja memenangkan perang yang paling hebat, yaitu lawan diri sendiri!"

The Rain WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang