SEVENTEEN

47 5 0
                                    

Elan memastikan dulu rumah kecil berhalaman sempit di kompleks Tanah Mas itu bener-bener nomor 478, baru ia menghentikan motornya di dekat pintu pagar pekarangan. Ia mencopot helm, lantas melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Rumah itu sepi senyap. Pintu depan tertutup rapat. Ini udah lewat jam 10 malam, udah bukan waktunya lagi berkunjung ke rumah seorang cewek.

Ia tetap sedikit merasa bersalah meski emang punya alasan kuat.

Pintu diketuknya pelan. Tak perlu mengetuk sampai dua kali, pintu terkuak. Seorang gadis manis berkacamata minus muncul.

"Malem, bener ini rumahnya Tami?" Elan menyapa pelan.

Gadis itu tersenyum, "Pasti Elan."

"Betul."

Mereka lantas salaman saling kenal. Ternyata dialah Tami. Ia mempersilakan Elan masuk ke ruang tamu.

"Wening ada di sini?" tanyanya kemudian, sambil membuka jaket.

"Iya, dia ada di kamarku. Bentar ya kupanggilin dia?"

Elan mengangguk. Ia duduk menunggu di kursi pojok dekat jendela besar. Tami berlalu kembali ke ruang dalam. Nggak sampai semenit kemudian, ia keluar lagi membimbing seorang cewek ramping yang nampak sangat pucat dan kusut. Elan mendongak. Sesuatu di wajah gadis itu membuatnya terbelalak kaget.

"Ning, kamu kenapa...!?"

Sebab ada rona lebam biru yang sangat jelas di pipi kiri Wening.

Gadis itu nggak langsung menjawab. Seperti orang yang lagi sakit parah, ia dibimbing untuk duduk di dekat Elan oleh Tami. Kepalanya tertunduk. Tampangnya bener-bener kuyu.

"Kutinggal dulu ya?" kata Tami kemudian. "Silakan bicara-bicara dulu. Ntar kubikinin minum."

Elan mengangguk. Tami menghilang lagi. Perhatian Elan tertuju sepenuhnya ke lebam biru di pipi Wening.

"Ning, kamu tu kenapa?" ia mengulangi pertanyaannya dengan nada lebih halus.

Wening terdiam sejurus. Ia menata letak rambutnya, lalu mengangkat wajah cantiknya menatap Elan.

"Kamu nggak kasih tahu siapa-siapa aku ada di sini kan?"

Elan menggeleng, "Enggak. Sumpah, demi Tuhan."

Wening tertunduk lagi. Ia membuang napas, baru bisa menjawab,

"Aku dipukul Yoga."

Sepasang mata Elan melotot, "Apa? Kamu dipukul Yoga!?"

Wening mengangguk lemah.

"Kenapa? Kapan!?"

"Tadi malam," Wening mengusap matanya yang sembab.

"Emang ada masalah apa sampe dia mukul kamu? Apa dia udah kekurangan lawan sesama cowok!?"

Wening menarik napas dengan berat. Wajahnya betul-betul terlihat sangat lelah, kayak pekerja paksa yang udah bekerja seminggu penuh tanpa pernah mengaso.

"Semalam dia ada di rumahku sampai malem banget. Pas mau pulang sekitar jam sepuluh, dia tertarik sama CD yang aku bawa dari kantor Abege. Tahu kan CD berisi foto-fotoku bareng Rio Stockhorst yang dikopiin Mas Roman kemarin?"

Elan mengangguk, "Tahu. Lantas? Yoga membukanya?"

"Ya. Dia kan merasa selalu harus tahu segala macam urusanku."

"Dan dia langsung jealous liat foto-foto mesra kamu bareng Rio itu?"

Wening mengangguk. Dia mulai terisak.

The Rain WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang