THREE

93 6 0
                                    

Elan membelokkan motor Tiger-nya memasuki pekarangan rumah Bu Lurah. Sekilas aja udah keliatan Ibu dan Bu Lurah masih mengobrol di ruang tamu untuk jangka waktu yang belum bisa ditentukan. Dan biasanya, obrolan yang kayak gitu itu bener-bener bisa makan waktu berjam-jam.

Sebenernya ia pengin pergi dulu entah ke mana sekadar untuk buang waktu sampai satu atau dua jam ke depan. Pengin cari nasi juga sih, soalnya dari rumah tadi ia belum sempat sarapan. Tapi dengan kondisi mental yang masih loyo kayak sekarang ini, duduk diam sambil nggak ngapa-ngapain dan nggak mikir apa-apa masih tetap jadi alternatif terbaik untuk membunuh waktu.

Jadi ia lantas naik ke beranda dan duduk di kursi rotan yang ada di situ sambil mencomot majalah tentang agrikultura yang kebetulan tergeletak di meja. Meski sama sekali nggak mudeng soal tumbuh-tumbuhan, tetap saja ia paksakan untuk baca karena emang nggak ada bahan bacaan lain lagi di situ.

Lima belas menit berlalu dalam sepi. Di dalam, Ibu dan Bu Lurah mengobrol hiruk pikuk dengan tema nggak jelas. Melebar ke mana-mana dan melompat-lompat dari satu topik ke topik lain, tapi sebagian besar selalu mengandung unsur ngrasani, alias bergunjing. Dan objek-objek penggunjingan itu Elan semua kenal. Orang-orang kampung situ juga.

Ada Bu RT, lalu Bu RW yang kabarnya usaha wartelnya mulai mengalami kemunduran, ada juga Pak Mauro yang konon akan menikah lagi, Bu Hellman yang menurut cerita suka makan daging biawak, dan terakhir Bu Erwin tetangga sebelah rumah Elan yang kalo pinjem duit nggak pernah mau ngembaliin.

Elan sesekali mencuri dengar semua pembicaraan ngalor-ngidul itu sambil mendengus pendek. Tadi bilangnya cuman mau konfirmasi soal waktu pertemuan PKK Kelurahan minggu depan, tapi sekarang yang diomongkan udah lain sama sekali!

Lantas dari ruang dalam muncul seorang gadis bertubuh ramping berambut panjang sambil membawa nampan berisi segelas es sirop lychee dan setoples kacang telor. Cewek itu meletakkan semuanya satu demi satu dengan gerakan lembut ke atas meja.

Semula Elan sama sekali nggak memperhatikan. Tapi begitu ia mencoba mengamati wajah cewek itu, yang kaget bukan cuman ia, tapi mereka berdua sekaligus.

"Lho, kamu kok ada di sini!?"

Dia melotot nggak percaya, "Elan...?"

Jelas aja Elan kaget kayak melihat setan, sebab cewek berpostur bagus yang punya kulit putih mulus mirip permukaan batu pualam itu adalah Wening. Satu nama ini pernah punya urusan sensitif yang sangat nggak menyenangkan dengan Elan.

Tahun lalu, mereka berdua sama-sama masuk Undip. Bedanya, kalo Elan di FISIP Komunikasi, Wening di FISIP Administrasi Niaga. Merasa senasib karena sama-sama berasal dari SMA 11, mereka pun lantas jadi akrab. Mereka dulu emang satu sekolah, tapi karena nggak pernah sekelas, mereka jadinya ya nggak pernah akrab. Cuma kenal sebatas basa-basi aja, nggak pernah lebih dari itu.

Baru setelah satu kuliahan di Undip, Elan bisa deket ama Wening. Dari situlah semuanya bermula.

Wening ternyata seorang gadis yang sangat spesial. Di SMA dulu ia selalu masuk golongan murid teladan dengan catetan nilai yang hampir selalu sempurna. Dia juga jago debat dan oleh karenanya bisa masuk jajaran pengurus OSIS dengan mudah. Lantas, belakangan dia mencoba-coba masuk dunia modelling. Fotonya pernah nampang di halaman fashion Abege, tabloid remaja paling beken di Semarang (karena ya emang cuman ada satu!).

Maka Elan pun melihat keganjilan yang dulu sama sekali nggak terpikir yang kayak gitu suatu saat bakalan beneran eksis, yaitu model with brain. Di matanya, semua fotomodel tu berotak parah atau kadang emang bener-bener nggak punya. Wening membuktikan pada semua orang bahwa yang namanya model bisa juga punya kualitas SDM yang boleh dibanggakan.

The Rain WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang