TWENTY SIX

46 3 0
                                    

Elan dan Wening berjalan tergesa-gesa memasuki ruang tunggu keberangkatan di Bandara Ahmad Yani. Jam baru menunjukkan pukul 7.30, dan semua penumpang ke Jakarta termasuk keluarga Wening masih duduk menunggu dengan manis.

"Belum berangkat kan?" tanya Wening pada papanya.

"Belum. Masih lama. Duduk aja dulu," sahut Pak Misnan, papanya Wening, dengan wajah cuek.

Elan menyalami mereka semua. Mama Wening dan kedua kakak lelakinya menyambutnya dengan ramah. Sejak kasus Yoga tempo hari, mereka emang lantas jadi baek banget sama Elan, padahal tadinya kenal aja enggak pernah.

Wening celingukan. Karena nggak nemu kursi kosong di dekat keluarganya, ia lantas menyeret Elan untuk duduk di pojokan dekat rak koran. Elan heran menyaksikan Wening mengipasi lehernya dengan tangan.

"Udah gila ya? Orang nggak panas kok kipas-kipas."

Wening ketawa, "Gugup nih, gugup. Grogi banget mau ngadepin kasting nanti sore. Kalo aku nggak bisa gimana?"

"Bisa. Pasti bisa. Masa udah bisa mutusin Yoga tapi kasting aja nggak bisa? Yang ini nanti kan jauh lebih sepele. Di SMA kamu rajin ikut latihan teater kan?"

"Emang, tapi aku kan belum pernah ikut kasting beneran. Apalagi aku bakalan diplot jadi pemeran utama. Bayangin, Lan—peran utama!"

"Kalo kamu yakin bisa, pasti bisa. Tapi kalo belum apa-apa kamu udah pesimis duluan, ntar di sana pasti semuanya kacau."

Wening terdiam merenung, mikirin kata-kata Elan.

"Lan, kalo ntar aku jadi artis ngetop, kira-kira aku bakalan jadi makanan gosip nggak ya?"

Elan pura-pura mikir, "Kayaknya iya. Aku bahkan udah bisa bayangin kayak apa beritanya di acara infotainment gosip nanti: 'Pemain sinetron ngetop Wening Trihastuti dikabarkan lagi dekat dengan seorang pemain bola nasional yang enggan disebut namanya'!"

Wening melanjutkan bualan Elan, "'Tapi sang pemain bola nasional juga dikabarkan lagi deket dengan seorang gadis kaya raya misterius yang enggan menceritakan soal keluarganya'!"

"Itu Rainie!"

Mereka ketawa ngakak barengan.

"Oya, ngomong-ngomong soal Rain, dia minta maaf nggak bisa ikut nganterin kamu sekarang."

"Iya, tadi sebelum kamu datang, dia juga udah nelpon aku. Dia bilang kecapekan setelah kamu ajak jalan-jalan keliling Simpanglima sampai empat kali. Muter Simpanglima sampe empat kali!? Kok bisa?"

"Lha abisnya, ngobrol terus gitu sambil jalan, nggak sadar kita udah muter-muter empat kali. Miro dan yang lainnya pada heran lihat aku sama Rain keliling-keliling tanpa ujung pangkal gitu. Dan tau nggak? Si Carlos malah bikin taruhan pake duit receh lima ratusan, berapa kali aku dan Rain akan terus berkeliling gitu."

Wening ketawa geli, "Lantas, siapa yang menang?"

"Miro sama Stephen, pemain baru asal Inggris. Tebakan mereka persis empat kali. Yang lainnya ada yang nebak sampe 20 kali. Edan!"

"Trus duit taruhannya dipake apa?"

"Makan lagi. Dasar bule-bule gendheng! Biar dibilang harus diet pake menu yang udah ditentuin ahli gizi tim, tetep aja mulut mereka rakus dan nggak bisa dikendalikan. Terutama Carlos dan Miro itu, mereka bener-bener tukang makan sejati. Tadi malam mereka nyaris menghanguskan seluruh stok makanan si penjual nasi ayam!"

Wening tertawa.

"Temen-temenmu tu asyik-asyik semua orangnya. Mereka nggak jaim-jaim kayak temen-temenku di modelling. Yang pada datang dari luar negeri juga tahu-tahu bisa ikut gokil kayak orang-orang kita. Aku geli pas kemaren di tempat latihan si Carlos, Daniel, dan yang lain-lainnya berlomba-lomba meneriakkan kata-kata jorok bahasa Jawa!"

The Rain WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang