TWENTY FIVE

49 3 2
                                    

"Rainie Febri Murzani. Itu nama lengkapku."

"Alamat?"

"Kalo di Semarang, Jalan Argopuro No 14."

"Kalo di Semarang? Berarti di kota lain ada juga?"

"Ya. Di Jakarta ada. Di Bandung juga ada. Tapi karena selama SMA aku tinggal di sini, aku lebih sering ada di rumah Jalan Argopuro itu. Aku pulang ke Jakarta cuman pas libur doang."

Elan menengok arlojinya. Saat itu hanya beberapa menit menjelang tengah malam. Sesudah tim membubarkan diri abis bertanding lawan Persikas tadi, Miro mengajak beberapa pemain dan ofisial klub yang masih kuat melek untuk makan-makan di nasi ayam Simpanglima sampai pagi. Elan termasuk yang ikut, tapi lebih karena dia lapar. Rain pun ikut karena alasan serupa.

Dan mengetahui "sesuatu sedang terjadi" di antara kedua bocah itu, para pemain lain sengaja mengucilkan mereka di pojok tikar lesehan biar bisa asyik berdua-duaan sepuas hati.

"Eh, si Erin kabarnya gimana? Udah mulai siaran belum?"

"Udah. Dia pegang siaran request lagu yang jam tiga sampai lima sore. Dia pengin traktir kamu buat bilang makasih, tapi kamunya malah ngilang dua minggu lebih."

"Siapa bilang dua minggu lebih? Aku cabut Selasa, ini baru Minggu. Berarti cuman..." Rain ngitung di kepalanya. "Dua minggu kurang dua hari."

"Apa bedanya? Mau dua minggu, mau dua tahun, kalo pergi itu mbok ya kasih kabar atau seenggaknya telpon tu diidupin sebentaaaar aja biar kita bisa miskol atau SMS. Masa sama sekali nggak bisa dikontak? Aku kan jadinya kuatir ada apa-apa sama kamu."

Rain ketawa, "Ya maap! Aku kan sibuk, lagian dua minggu terakhir ini aku juga ngeluyur ke mana-mana."

"Emang kemaren-kemaren kamu pergi ke mana aja sih?"

"Jakarta, lalu Hong Kong, New York, Stockholm, Paris, Riyadh, lalu baru tadi pagi sampai lagi di Kota Lumpia."

"Sudah kuduga kamu pasti jenis orang jet set yang bisa dengan mudah melompat-lompat ke luar negeri sesuka hati," Elan lantas melihat arlojinya lagi. "Eh, ini udah hampir jam dua belas malam! Kamu apa nggak dicariin orang rumahmu?"

"Tadi aku udah bilang mau keluar sampe agak malam kok."

"Tapi kan tetep nggak pantes ada cewek keluyuran sampai lewat midnait. Yuk, kuantar pulang! Ntar aku nggak enak sama ortumu."

"Udah, nggak papa. Tenang aja! Kalo mau nganter, temeni aku jalan-jalan keliling Simpanglima, yuk! Selama tiga tahun tinggal di sini, belum pernah aku jalan-jalan di Simpanglima pas tengah malam. Ayo!"

Karena tangannya ditarik, Elan terpaksa mau. Miro, Carlos, dan yang lain-lainnya cengar-cengir waktu melepas keduanya pergi. Si Carlos bahkan pake suit-suit segala. Brasil kok nDeso, batin Elan!

Ia dan Rain lantas je-je-em (jalan-jalan malem!) mengitari Simpanglima berlawanan arah jarum jam dimulai dari Hotel Ciputra menuju Masjid Baiturrahman dan seterusnya. Jam segitu Simpanglima masih cukup rame meski jalan seputar Lapangan Pancasila udah sangat sepi. Kalo kemaren pas malam Minggu, suasananya sangat beda jauh. Tempat itu berubah jadi kayak lagi ada pasar malam.

"Yang itu tadi termasuk utangku padamu," kata Rain kemudian, saat mereka udah ada di trotoar superlebar depan hotel.

"Yang mana?"

"Soal aku pulang malam dan dicari-cari ortu."

"Utang?"

"Ya. Kan aku pernah janji aku akan cerita semua soal aku dan keluargamu kalo kamu udah cerita soal masalahmu dengan bola. Terlebih, kamu jauh lebih maju karena nggak cuman sekadar cerita, tapi akhirnya malah bisa balik sungguhan jadi pemain bola lagi."

The Rain WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang