Elan menengok arlojinya. Sekarang tepat pukul setengah tiga sore. Steak Monki yang terletak di dekat kampus Undip Pleburan udah nggak terlalu rame selepas jam makan siang. Hanya ada dua meja yang terisi. Semua dihuni oleh pasangan cowok-cewek yang sedang memadu cinta.
Warung steak satu ini emang pas dijadiin tempat nge-date. Buat lokasi penembakan pun oke juga. Pokoknya semua serba bernuansa cinta. Kalau pas malam Minggu, Monki kayak Stadion San Siro saat menggelar pertandingan AC Milan lawan Inter Milan, full house. Semua penonton... Elan langsung mengibaskan kepalanya dengan jengkel. Bola lagi, bola lagi!
Urusan itu tetep aja mengganggu meski ia sudah menyatakan diri pensiun selama-lamanya.
Ia udah sampai di sini sejak 10 menit lalu. Sengaja datang lebih awal karena perutnya sudah minta diisi gara-gara tadi acara makan bareng Wening batal terselenggara. Tapi karena Rain belum muncul, ia cuman bisa pesen orange juice sambil sesekali menatap daftar menu dan ngiler melihat nama-nama makanan yang sangat mengundang selera itu.
Elan tengah berpikir untuk membeli pulsa sepuluh ribuan dari toko selular di seberang jalan dan miskol atau SMS Rain ketika yang ditunggunya tahu-tahu muncul memarkir motor di pinggir jalan depan warung. Dia masih seperti kemaren saat mereka pertama kali ketemu di tukang tambal ban. Pake seragam sekolah, jaket merah tua, dan tas punggung gede warna hitam-kuning.
Dengan langkah mantap Rain menghampiri meja Elan sambil mengantongi kedua tangannya ke saku jaket. Sejenak Elan terpana. Baru ia sadar gaya anak itu sangat anggun. Dia seperti seorang ratu saat memasuki balairung istananya. Yakin dan berkharisma. Sama sekali nggak menoleh kanan-kiri. Langsung ke tujuan dan duduk dengan mantap menghadapi Elan.
Wajah dan penampilannya yang sebenernya nggak terlalu istimewa berubah jadi sangat mempesona oleh pembawaannya yang luar biasa itu. Sekejap Elan kayak nggak lagi berhadapan dengan seorang anak SMA, tapi eksekutif perusahaan gede yang berusia 10 tahun lebih tua darinya.
"Udah lama?" tanya Rain sambil melepas tas punggungnya.
"Sepuluh menit."
Rain merogoh ke dalam tasnya dan mengeluarkan sebuah bungkusan tas plastik kresek berwarna putih.
"Nih!" ia menyodorkan itu pada Elan.
"Apa ini?"
"Hadiah kecil karena udah bersedia diwawancarai."
Elan mengintip ke dalam bungkusan. Ia menemukan sebuah mug cantik bergambar Winnie The Pooh.
"Tadinya aku mau nyariin kapal pesiar, kayak permintaanmu semula. Tapi karena hari ini toko kapal pesiar lagi nggak ngadain diskon, terpaksa cuman bisa beli mug. Dan tadinya aku mau beliin mug yang bergambar logo AC Milan, tapi karena aku ngerti kamu lagi nggak mau berurusan dengan bola, aku ganti jadi mug kartun. Suka Winnie The Pooh nggak?"
"Nggak begitu suka sih. Aku lebih suka kartun Jepang. Tapi ya nggak papa. Makasih, ya?"
"Same-same," Rain mengangguk. "Oke, mau langsung ngobrol apa makan dulu?"
"Tentu saja makan. Aku sudah kelaparan nih."
"Wah, ternyata sama."
Dengan satu kali isyarat tangan, Rain berhasil mengundang salah seorang waiter untuk mendekat ke meja. Elan memperhatikannya baik-baik. Ada sesuatu dalam tingkah laku Rain yang membuatnya nampak begitu berkuasa. Saat memanggil pelayan, tahu-tahu ia berubah jadi kayak big boss yang begitu gampang main perintah. Kalo Elan sendiri yang melakukannya, ia akan lebih terasa kayak meminta daripada memerintah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rain Within
RomanceSebuah kesalahan fatal dalam sebuah pertandingan playoff yang sangat penting membuat Elan Naratama trauma dan meninggalkan kariernya yang cemerlang sebagai pemain sepakbola. Ia pun tak menggubris ajakan manajer tim PSIS Semarang yang memintanya mena...