TWELVE

63 6 4
                                    

Setiap hari Minggu tiba, hubungan pertemanan Elan dengan kasurnya menjadi jauh lebih akrab dari biasanya. Bisa dipastikan ia baru akan keluar kamar selepas pukul 9. Apalagi sekarang, setelah ia berubah menjadi manusia "baru" yang nggak lagi punya motivasi pada sepak bola, jadwal tidurnya menjadi bertambah panjang lagi.

Angka jam di layar display ponselnya udah menunjukkan pukul 10.20 WIB, dan ia masih tetap ngorok seperti sediakala. Sebagian karena pikirannya capek gara-gara kejadian itu. Sebagian lagi karena semalam (atau sepagi ya?) ia melek sampai pukul 3 dini hari mainan GTA di komputer.

Lalu mendadak si ponsel berdering keras. Elan terbangun seperti kena sambar petir. Jika nggak ada deringan itu, pasti ia masih akan ada di tempat tidur hingga mendekati tengah hari.

Setengah sadar dilihatnya nama penelepon di layar. Rain.

"Halo...?"

"Ya ampuuun... jam segini baru bangun?"

Elan tertawa dengan suara serak ngantuk, "Iya. Ada apa?"

"Kamu mau nggak bantuin aku?"

"Mau aja. Ada apa, sih?"

"Tolong ketikin paperku. Yang tentang sepak bola itu."

Elan heran, "Ha?"

"Kamu ke sini dulu. Sekarang juga ya?"

"Ke rumahmu?"

"Bukan. Ke rumah sakit."

"Apa?" Elan terlompat kaget luar biasa. "Rumah sakit? Emangnya kamu kenapa!?"

"Udah! Pokoknya kamu ke sini dulu. Ceritanya entar aja. Cepetan ya?"

Sambungan langsung ditutup. Elan bingung campur panik. Rumah sakit? Apa yang terjadi dengan si manis itu? Apa dia kecelakaan? Sakit? Kena serangan jantung? Panuan kronis!?

Yang jelas kantuk Elan langsung ilang seketika. Sekarang yang terpikir hanyalah secepatnya mandi, lalu ngebut ke RS. Persis pas ia hendak melesat keluar kamar, ponselnya bunyi lagi.

Dari Rain lagi.

"Halo!?"

"Maaf..." Rain malah ketawa pelan.

"Ada apa? Kamu kenapa sebenernya?"

"Aku lupa belum ngasih tau rumah sakitnya. Bhakti Waluyo, kelas VIP, kamar nomer dua. Cepetan ya? Kutunggu."

Sambungan diputus. Baru kini Elan bisa melesat blingsatan keluar seperti anak ayam dikejar babi hutan.

Tapi sebelum ia sampai di sana, telepon rumah berdering-dering keras. Karena saat itu ia paling dekat berada dari posisi telepon di ruang tengah, mau nggak mau ia terpaksa harus mampir dulu mengangkatnya tergesa-gesa.

"Halo, pagi, eh.. siang!"

"Halo, bisa bicara dengan Elan?" suara di seberang terdengar asing. Deg! Gimana kalo ini temen-temennya dari PSIS?

"Saya sendiri. Ini sapa ya?" Elan nyesel banget kenapa tadi nggak ia biarkan Ibu atau Erin yang ngangkat.

"Dimaz."

Elan lega bukan alang kepalang. Dimaz adalah ketua Kine Klub yang sekaligus jadi sutradara The Journey, film indie yang rencananya akan mulai syuting sore nanti itu.

"Oh, ada apa, Mas? Ada perubahan jadwal?"

"Lan, ini gawat, Lan! Kita nggak cuman ada perubahan jadwal, tapi mungkin juga kiamat!"

Elan manyun sebal. Merasa dirinya sok seniman, Dimaz selalu saja bersikap dramatis dan memakai kosa kata yang hiruk pikuk.

"Kiamat gimana?"

The Rain WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang