EIGHTEEN

60 6 0
                                    

Elan baru saja meninggalkan ruang kuliah ketika serombongan anak tahu-tahu menyusulnya sambil berteriak-teriak ribut memanggilnya.

"Apaan sih? Berisik!" dengusnya sebal.

Ia melihat Vety, Puput, dan Edo tergesa-gesa menghampirinya. Mereka adalah para kru Pena, majalah dua bulanan anak-anak Komunikasi Undip.

"Mana?" Dena menadahkan tangannya menagih sesuatu.

"Mana apanya?" Elan bingung.

"Katanya mau bikin cerpen. Mana? Deadline kita Kamis. Kalo bisa, halaman cerpen udah rampung di-lay out hari ini biar nggak semuanya numpuk hari Kamis," Edo menukas galak.

Elan menepuk jidatnya dengan tampang bloon setengah mati. Iya! Ia pernah janji edisi Pena kali ini bakal bikinin cerpen. Gara-gara urusan tragedi pertandingan yang memilukan itu, ia jadi melupakan segala hal termasuk yang satu ini.

Emang sih ia nggak punya niatan sedikitpun untuk jadi cerpenis atau sastrawan, tapi kalo cuman sekadar dongeng-dongeng sambil lalu tentang kisah cinta, penembakan, atau putus pacaran anak remaja, ia jelas masih bisa.

"Kenapa? Lupa? Belom bikin?" Puput melipat tangan di dada sambil memandangi Elan dengan sorot mata gondok. "Kamu sekarang banyak berubah deh. Bawaannya lupaaaaa mulu!"

"Bukannya belum bikin. Aku cuman lupa nggak bawa disketnya ke sini. Ketinggalan di mejaku, tadi nggak sempat kumasukin ke tas."

Padahal yang namanya tu cerpen baru selesai dua paragraf. Ia pernah nyoba-nyoba ngetik, tapi karena otaknya semrawut kian parah, akhirnya proyek itu macet untuk jangka waktu yang sangat lama. Lamaaaaaa sekali!

"Besok pasti kubawa deh. Atau kalo nggak, ntar sore kukirim lewat email."

"Oke, lewat email aja. Kutunggu. Awas kalo lupa lagi!" Edo mengacungkan tinju ke arah Elan.

"Eh, si Wening kabarnya gimana?" tanya Vety. "Bener dia udah pulang?"

"Udah. Ntar sore aku mau ke rumahnya nengokin dia. Mau ikut?"

"Oke deh, nanti kalo mau ke sana, kontak kami ya?"

"Sip."

Lalu mereka bertiga melintas cepat berlalu pergi tergesa-gesa untuk segera kembali lagi ke kantor Pena.

Elan menghela napas sambil garuk-garuk kepala yang nggak gatel. Luar biasa! Kini semua urusan seolah terlepas begitu aja dari kontrol ingatannya. Apa-apa serba lupa dan lupa. Kalo caranya begini, suatu saat nanti bisa-bisa ia akan lupa bernapas!

Ia melanjutkan perjalanannya menuju tempat parkir ketika ponselnya berdering dan bergetar dua kali. Ada pesan masuk. Ia membacanya. Dari Rain.

km dimn? Klo ga ada kerjaan, meet me depan gelael citraland. Ta tunggu 20 mnt. Tx

Elan tersenyum tipis. Lega akhirnya anak itu nongol lagi.

Kebetulan, emang udah nggak ada kesibukan lain di kampus. Lagian ia juga tengah berpikir untuk mengajak anak itu jalan ke mal selepas dia pulang dari rumah sakit kemaren pagi.

***

Sewaktu Elan masuk, Rain tengah duduk sambil mainan SMS entah sama siapa di meja pojok food court depan Gelael. Ia melambaikan tangan sambil tersenyum cerah saat melihat bayangan Elan mendekat. Sisa sakitnya kemaren udah nggak berbekas lagi. Dia kini terlihat segar bugar seperti sediakala.

"Mau makan?" ujarnya sambil memasukkan ponselnya kembali ke tas saat Elan ikut duduk di situ.

Rain masih memakai seragam sekolah komplet dengan jaket merah yang biasa. Agak aneh emang kalo dipikir. Dia orang jet set, tapi jaketnya nggak pernah ganti.

The Rain WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang