FOURTEEN

58 6 2
                                    

Elan meletakkan dua buah disket dan paper setebal dua halaman ke perut Rain yang masih tergolek lemas di pembaringan.

"Kalau ada yang kurang beres, aku masih bisa mengeditnya lagi. Ada warnet merangkap rental komputer di lantai dasar," katanya.

Saat itu, lepas magrib, ia sudah kembali nongkrong di kamar Rain. Lain dari suasana pagi tadi yang senyap, di sekitar meja dan sekeliling tempat tidur udah terdapat banyak bingkisan. Kebanyakan berupa buah-buahan, kue kalengan, dan roti. Tapi ada juga yang ngasih bunga.

"Nggak usah ke mana-mana kalo mau betulin ini. Aku bawa laptop kok," Rain membaca naskah itu sepintas. "Lagian ini sudah bener. Nggak usah diapa-apain lagi."

Ia memberesi berkas-berkas itu, lalu menumpuknya dengan rapi di sebelah kepalanya.

"Makasih, ya? Aku ngerepotin kamu aja," katanya kemudian.

"Nggak papa. Senang bisa membantu. Toh suatu saat nanti mungkin giliran aku yang minta tolong."

"Bener juga. Eh, Bapak, Ibu, sama Erin mana nih? Kok belum datang?"

"Nggak tahu. Aku sendiri belum pulang sejak pagi tadi. Abis ngetik papermu di kampus tadi aku langsung kemari. Paling mereka baru berangkat jam tujuh. Jadi nyampe sini ya sekitar jam setengah delapan. Keluargamu sendiri mana? Belum pulang dari acara tunangan itu di Jogja?"

"Belum. Biasanya mereka suka kumpul-kumpul dulu. Sampai lagi di sini mungkin setelah jam sembilan."

"Tapi masa sama sekali nggak ada yang nemenin kamu di sini?"

"Aku yang ngelarang. Kusuruh mereka pergi semua aja ke sana. Aku kan nggak kenapa-kenapa. Lain soal kalo aku sakit berat. Tipes, DB, atau operasi amandel, misalnya."

"Aku jadi mikir. Kamu ternyata sama sekali belum pernah cerita soal mereka ya?"

"Mereka siapa?"

"Keluarga kamu. Kamu sudah kenal baik orang-orang rumahku. Kamu juga udah tahu apa aja soal kami. Tapi aku sama sekali belum ngerti apa-apa soal keluargamu. Jangankan itu, nomor telepon atau alamat rumahmu aja aku nggak tahu. Dan kenapa sih tiap kali aku menyinggung soal aku pengin gantian main ke rumahmu, kamu selalu menghindar dan milih lebih baik kita ketemuan di luar? Ini kan nggak adil!"

Rain nggak menjawab. Ia hanya tersenyum simpul penuh arti dengan sorot mata berbinar-binar jenaka.

"Kamu orang normal juga kan kayak kita semua?"

Rain ketawa, "Ya iya lah! Tanganku dua, kakiku dua, kepalaku satu. Itu normal nggak?"

"Soalnya lama-lama kamu jadi semakin misterius. Kamu tahu apa aja soal aku dan keluargaku, tapi aku bener-bener buta soal kamu. Nanti dulu! Kamu anggota keluarga mafia Italia, ya? Atau jangan-jangan, kamu agen rahasia CIA!"

Rain ngakak keras.

"Imajinasi kamu tu ya? Kelewatan buanget...!" katanya. "Begini aja deh. Gimana kalo cerita kamu dituker ama ceritaku?"

Dahi Elan berkerut, "Maksudnya?"

"Kamu cerita ke aku soal masalahmu dengan sepak bola. Baru abis itu aku mau cerita soal keluargaku. Jadi impas gitu. Kita saling berbagi masalah. Siapa tau kita bisa saling bantu."

"O, jadi rupanya kamu lagi ada masalah ama keluarga kamu, ya?"

"Ya bisa dibilang begitu."

"Emang ada urusan apa sih? Pacar kamu nggak disetujui ortu? Beda pendapat soal pilihan kuliah? Atau kamu crash sama sodara-sodara kamu?"

The Rain WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang