TWO

110 7 2
                                    

Ibu melompat turun dari motor. Elan membungkuk menengok ke arah ban belakang. Bu Lurah muncul datang tergopoh-gopoh dari arah beranda rumahnya.

"Kenapa, Bu Wicak?" dia bertanya agak heboh pada Ibu.

"Bannya gembos begitu sampai di sini."

Elan menghembuskan napas frustrasi. Si ban emang udah nggak berbentuk lagi. Nambahin kerjaan aja! Untung kempesnya nggak tadi pas ada di tengah jalan.

"Di pojokan situ ada tukang tambal ban, Mas!" Bu Lurah menuding ke arah jalan.

"Jauh nggak dari sini, Bu?" tanya Elan.

"Nggak. Paling cuman 50 meteran."

Itu jauh juga untuk ukuran orang dorong motor, batin Elan sebal!

"Udah, tambal dulu sana!" kata Ibu. "Ibu nunggu di sini."

Tanpa sempat bilang iya atau mengangguk, Elan langsung memutar motor Tiger-nya keluar dari pekarangan rumah Pak Lurah yang terletak persis di sebelah kantor kelurahan. Sementara kedua ibu itu masuk ke dalam untuk membahas urusan PKK yang pasti akan melebar jadi acara gosip selama 90 menit lebih, Elan tersuruk-suruk mendorong motornya menyusuri pinggiran jalan.

Kios tambal ban yang dikatakan Bu Lurah tadi udah kelihatan dari sini. Tampak dari kompresor besar berwarna oranye yang dipasang menyolok di depan kios. Tapi untuk menuju ke sana di tengah cuaca panas kayak sekarang ini bener-bener butuh perjuangan yang lumayan gede.

Tanpa sadar Elan kembali mendengus sambil menyeka keringat yang menitik di pelipisnya pake punggung tangan. Nggak tahu kenapa, tapi kayaknya sejak Black Saturday Night itu, hidupnya cuman berisi masalaaaaaaah melulu. Mending kalo urusannya urgen. Kadang problemnya tergolong masalah-masalah yang nggak perlu seperti ini.

Sebentar kemudian ia sampai di kios tambal ban. Fyuh... rasa-rasanya kayak baru aja sampai di puncak Mount Everest setelah menempuh pendakian yang dahsyat selama berhari-hari! Elan membelokkan motor masuk ke kios, dan si tukangnya udah langsung ngerti hanya dengan sekali menoleh.

Pak tukang tambal ban saat itu lagi sibuk mengerjakan ban milik sebuah motor bebek kinclong berwarna hitam yang nampak jelas masih sangat baru. Mata Elan mencari-cari, dan menemukan si pemilik motor sedang duduk di bangku panjang di pojokan kios sambil membaca sebuah novel tebal karangan Tom Clancy.

Dia seorang gadis siswa SMA berseragam komplet yang tentu terlihat jadi sangat aneh mengapa keluyuran di luar jam-jam segitu. Tas dan jaketnya teronggok di sampingnya. Ia sedikit menggeser perbekalannya itu ke samping ketika dilihatnya Elan akan ikut duduk di situ menunggu giliran pemeriksaan ban.

Sedikit tersenyum saat mata mereka bertemu, Elan duduk. Ia hanya nggak ngerti kenapa orang rela membuang waktu berjam-jam untuk membaca novel. Nggak ding. Yang setebal itu pasti nggak cuman butuh berjam-jam, tapi berhari-hari.

Yang lebih nggak dimengerti lagi, bagaimana bisa orang bikin cerita setebal itu. Ia yakin semua pengarang novel dulunya pasti pengangguran sehingga punya begitu banyak waktu luang untuk ngetik 24 jam nonstop tanpa henti.

Setelah beberapa saat, cewek itu lantas mengangkat wajahnya dari novel.

"Maaf, boleh nanya?"

Elan sesaat agak termangu karena nggak pernah ngira ia akan disapa duluan oleh seorang cewek yang nggak ia kenal dan nggak pula mengenalnya.

"Boleh. Nanya apa?"

"Kamu pemain bola?"

Elan termangu lagi, "Kok tahu?"

The Rain WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang