Rumah Wening bener-bener kayak istana. Atau seenggaknya, tipe-tipe hunian mewah kayak yang sering muncul di sinetron-sinetron. Megah dan bertingkat dua, ada kanopi di bagian depan yang dilengkapi pilar-pilar bergaya arsitektur Romawi, dan dipercantik dengan taman plus gazebo dan tempat duduk yang nyaman.
Garasi di sebelah kiri nyaris menyerupai satu bangunan tersendiri saking guedenya. Dari pintu yang terbuka keliatan jelas tempat itu mampu menampung enam hingga delapan mobil sekaligus. Sebuah sedan Volvo warna hitam terparkir di depan garasi. Avanza yang biasa dipake Wening nggak keliatan. Pasti ada di dalam.
Ketika Elan memarkir motornya di sebelah Volvo hitam, Wening yang ada di gazebo taman dekat kolam ikan langsung bangkit berdiri dengan wajah berseri-seri meski bekas lebam di pipi kirinya masih belum ilang.
Sambil masih tetap memakai helmnya, Elan bergegas menghampiri Wening ke gazebo. Sore itu Wening tampak begitu manis. Ia hanya pake daster warna ijo tua, tapi tetep aja manis.
"Lagi apa?" tanya Elan sambil duduk dan melepas tas punggung serta jaketnya, tapi helm masih dipake.
"Baca," Wening memamerkan buku Chicken Soup yang tengah dilahapnya.
"Kenapa di sini?"
"Nunggu kamu."
Elan nyengir lebar, "Jangan gitu, ah. Jadi ge-er nih..."
Wening ketawa.
"Itu helm dilepas kenapa!?" serunya kemudian, gatel sendiri liat Elan duduk di situ tapi masih tetap pake helm.
"Males. Toh nanti pulangnya tetep akan kupake lagi."
"Edan!"
Elan ikut ketawa, lantas mencopot helmnya.
"Gimana keadaanmu? Udah baikan?"
Wening mengangguk, "Masih agak sakit, tapi udah nggak trauma lagi."
"Kalo udah nggak trauma, kenapa HP-mu masih tetep mati?"
"Soalnya si Yoga nelpon dan kirim SMS terus. Barusan ini tadi kuidupin sebentar, SMS dari dia udah numpuk sampe 25 biji."
"Isinya apa aja?"
Wening menggeleng cepat, "Nggak tahu. Aku nggak mau baca. Nggak berani."
"Ya udah, kalo gitu ganti nomor aja. Kan lucu kalo kita nggak bisa SMS-an lagi cuman karena kamu nggak mau dihubungi Yoga lagi."
"Iya, emang rencanaku gitu. Cuman aku belum sempat beli."
"Lantas, kakak-kakak kamu gimana? Mereka jadi nyariin Yoga buat balas dendam?"
"Tadinya sih iya, tapi lantas dilarang Papa. Mereka sih bilangnya nurut. Nggak tahu kalo di luaran sana mereka tetep aja pengin balas mukulin Yoga. Yang jelas sih Mas Bobi bilang nggak akan ambil tindakan apa-apa sama Yoga. Tapi kalo anak itu berani datang lagi ke sini, dia akan dikuliti hidup-hidup sama para reserse temennya Mas Bobi!"
Elan terdiam, lantas celingukan,
"Ngomong-ngomong, Jecy sama Aya ke mana? Mereka bilang tadi langsung kemari sesudah kuliah bubaran."
"Emang iya, tapi jam setengah empat tadi keluar. Mo beli gado-gado katanya. Bentar lagi paling balik lagi ke sini."
Wening lantas menutup bukunya, menaruhnya di meja gazebo, dan bangkit berdiri.
"Mau ke mana?" Elan heran.
"Bikin minum. Mau minum apa?"
"Apa aja, terserah."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rain Within
RomanceSebuah kesalahan fatal dalam sebuah pertandingan playoff yang sangat penting membuat Elan Naratama trauma dan meninggalkan kariernya yang cemerlang sebagai pemain sepakbola. Ia pun tak menggubris ajakan manajer tim PSIS Semarang yang memintanya mena...