ELEVEN

54 5 0
                                    

"Kenapa sih kamu berhenti main bola?"

Pertanyaan polos itu langsung disambut dengan rahang yang terkatup rapat dan tampang yang tahu-tahu jadi keruh dan kelam. Padahal beberapa menit berikutnya, Elan masih riang dan penuh lelucon.

Itu yang membuat Rain jadi punya keberanian untuk bertanya.

"Kamu nggak marah kan kalo aku nggak mau jawab pertanyaan itu?"

"Tentu saja enggak. Kamu berhak untuk nggak jawab. Tapi masa sih kamu pengin memendam urusan itu seumur hidup?"

Elan nggak menjawab. Dia malah terdiam merenung.

Saat itu mereka ada di warung nasi goreng Pak Kebul, yang terletak di salah satu bagian trotoar pasar. Barusan Erin dijemput teman-teman segengnya keluar jalan-jalan. Karena nggak ada kegiatan lain, pertandingan di TV udah selesai, dan Bapak serta Ibu belum juga pulang, Elan lantas ngajak Rain makan di situ.

Aroma hot nasi goreng babat dan nasi goreng teri yang lagi dibikin membuat perut keduanya makin tragis berontak. Sebentar kemudian es jeruk pesanan mereka datang.

"Kamu tolong jangan tanya-tanya soal ini sama mereka, ya?" ucap Elan sesudah meneguk minumannya.

"Mereka siapa?"

"Bapak, Ibu, Erin. Mereka pasti mau dan bisa ngasih tahu apa masalahku sekarang ini. Tapi kalo kamu bener-bener menghargai aku sebagai teman... jangan nanya ke siapapun soal itu kecuali sama aku. Okey?"

Rain berpikir sebentar, lalu mengangguk,

"Oke."

"Aku tu bukannya nggak mau cerita ke kamu atau pengin memendam urusan ini selamanya. Cuman... jangan sekarang. Aku belum bisa."

"Ya udah, nggak apa-apa...!" tahu-tahu Rain menepuk-nepuk bahu Elan kayak lagi menenangkan anaknya. "Yang jelas aku selalu siap dengerin ceritamu, kalo kamu udah bisa nanti."

Elan terhenyak. Tepukan Rain di bahunya tiba-tiba berasa kayak angin pegunungan yang luar biasa sejuk memasuki seluruh bagian dalam dadanya. Sejuk. Adem. Menenangkan.

Ini pertama kalinya ia kembali merasa tenteram setelah hari tragedi yang memilukan itu.

Sambil ketawa pelan ia memandangi Rain yang juga tengah sekilas menatapnya dengan sorot mata memesona.

"Kenapa?" dia ikut-ikutan tertawa. Penasaran.

"Gayamu itu... sok tua. Emang aku keponakanmu pake dihibur dengan cara gitu?"

"Masalahnya, kamu emang kelihatan betul lagi memendam masalah yang sangat berat. Karena kamu udah bantu aku jadi narasumber tugas sekolahku, apa salahnya gantian aku membantumu mengatasi masalah kamu? Getoo... Mudeng?"

"Mudeng, Bude..."

Rain ketawa.

Dua orang pria berumur 30-an masuk ke warung sambil ngobrol dan tertawa-tawa. Elan dan Rain terpaksa agak minggir karena warung kecil itu emang hanya terdiri atas sebiji bangku dan meja panjang. Letaknya di atas selokan pasar lagi. Meski bentuknya sama sekali nggak keren kayak gerai-gerai fast food di mal, nasi goreng Pak Kebul adalah jaminan mutu. Kelezatan cita rasanya akan terus terbayang-bayang hingga dua tiga hari sesudah makan. Siapapun pasti akan pengin mampir lagi ke situ.

Lalu ada panggilan masuk ke ponsel Elan. Dahinya berkerut tajam saat membaca nama di layar. Wening? Tumben dia yang nelpon. Ini jelas kejadian mahalangka! Dulu, selalu aja Elan yang memulai nelpon atau kirim SMS. Wening cuman membalas seperlunya tanpa pernah satu kalipun duluan ngebel. Kalopun iya, pasti dalam rangka urusan kuliah yang sangat urgen.

The Rain WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang