Dengan agak ragu-ragu Elan meninggalkan kampus FISIP dan melangkah menuju auditorium. Meski udah menyangka, tapi jantungnya tak urung berdegupan juga ketika melihat Wening duduk manis sendirian menunggunya di salah satu bagian telundakan teras auditorium yang sejuk dan rindang.
Dulu, saat masih berteman akrab, di situlah mereka biasa ngobrol panjang lebar sampai lama sekali. Kalo udah bosan, mereka biasanya akan pindah ke warung batagor di sepanjang trotoar Imam Bardjo. Abis itu lantas ngeluyur jalan-jalan ke Mal Ciputra, Plasa Simpanglima, Ramayana, atau ke Gramedia.
Kini, Elan melangkah mendekat dengan perasaan haru biru. Ia duduk di samping Wening, tapi tak serapat dulu.
Wening masih membaca edisi terbaru Abege saat Elan tiba. Ia mengangkat mukanya dan memandangi Elan sambil tersenyum.
"Fotoku masuk lagi," ujarnya sambil mengangsurkan tabloid 32 halaman itu ke Elan.
Di rubrik fashion, emang ada foto-foto glamor Wening yang bergaya dengan tema dandanan "Denim Never Dies!". Style-nya nunjukin kalo suatu saat nanti dia bisa meroket jadi model nasional atau bahkan internasional kayak Tracy Trinita.
"Kapan nih fotonya?" tanya Elan sambil membaca abis artikelnya.
"Udah dua mingguan yang lalu. Aku sebenernya udah nggak niat lagi jadi model-modelan kayak gitu. Cuman lantas orang agensiku ngasih order pemotretan dengan Abege. Karena lagi butuh duit, ya aku mau-mau aja."
"Lantas? Honor pemotretannya udah diambil?"
"Udah dong."
"Traktir dong!"
Wening tersenyum simpul, "Emang untuk itu aku ngajak kamu ketemuan. Kita tu udah nggak pernah makan bareng lagi kayak dulu, baik dengan teman-teman atau cuman kita tok."
"Iya sih."
"Tapi tunggu bentar ya? Aku masih belum begitu lapar. Sekitar jam 12 nanti perutku pasti udah minta diisi."
Elan mengangguk, "Kita nongkrong aja dulu di sini. Dulu toh kita juga biasa ada di sini sampai sore."
Bedanya, dulu bisa ngomong apa aja dengan bebas. Kini, untuk nyari satu topik aja susahnya setengah mati!
"Temen-temen bilang, kamu nggak mau main bola lagi ya?" cetus Wening kemudian.
"Iya," Elan mengangguk sambil membolak-balik halaman Abege.
"Kenapa?"
"Ya kamu sendiri kan tahu kejadiannya gimana."
"Trus rencanamu abis ini apa?"
Elan melepas perhatiannya dari tabloid, lalu melempar pandang ke arah lain.
"Aku mau full konsentrasi ke kuliah. Targetku, semester ini nggak bolah ada nilai C lagi. Minimal B."
Wening diam tak berkomentar. Lalu ia menunduk memandangi lantai telundakan. Pikirannya mengembara ke arah lain.
"Lan, aku boleh curhat nggak?"
"Ya boleh lah. Kita kan masih teman."
Wening nggak langsung bicara. Ia diam dulu sampai beberapa saat. Mikir.
"Aku pengin tahu, apa semua cowok kayak gitu itu tingkahnya?"
"Ya tergantung. Kalo urusannya baik, pasti cuman aku. Tapi kalo jelek, semua cowok iya kecuali aku!"
Wening tersenyum. Ia menonjok lengan Elan,
"Bisa aja kamu."
Suasana mulai mencair antara mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rain Within
RomanceSebuah kesalahan fatal dalam sebuah pertandingan playoff yang sangat penting membuat Elan Naratama trauma dan meninggalkan kariernya yang cemerlang sebagai pemain sepakbola. Ia pun tak menggubris ajakan manajer tim PSIS Semarang yang memintanya mena...