Ko Eun sedang berkutat dengan beberapa alat di troley emergency dibantu oleh seorang perawat disampingnya. Seorang pasien sedang terbaring di bed dekatnya, nafasnya tersengal-sengal. Seorang perawat lain sedang memberinya oksigen tambahan agar tidak semakin sesak.
"Pasien ditemukan pingsan di rumahnya, sebelumnya dia mengeluh sakit perut dan muntah. Dia memiliki riwayat Diabetes Melitus."
"Hei, apa yang kalian lakukan? Dia pasien KAD*!" seru Ko Eun pada dua orang dokter internship yang berada di sebelahnya. "Cepat periksa glukosa darahnya! Perawat Choi pasang infus NaCl dua jalur!"
Semua orang yang ada di dalam Emergency room dengan cepat melakukan tugas mereka masing-masing. Meskipun begitu mereka masih berusaha untuk mengontrol diri mereka agar tetap tenang dan berpikir jernih. Mereka tidak boleh panik, karena pasien seperti bom waktu yang akan meledak kapan saja. Satu menit lalai bisa-bisa nyawa seseorang akan melayang dengan sia-sia karena kesalahan tenaga medis.
"Glukosa darahnya 650," ujar seorang juniornya yang masih internship.
"Oke, regulasi cepat insulin* pertama pukul 10.30," dia melirik jam tangannya. Kemudian Ko Eun mencari sebuah spuit kecil 1 cc, dan sebuah botol kaca kecil yang sudah dia siapkan tadi dari troley emergency.
Dengan cekatan tangan yang sudah memakai handscoon itu menyuntikkan cairan insulin dari spuit. Pasien laki-laki yang berbaring di depannya masih terlihat sesak, tapi nafasnya tidak seburuk tadi. Ko Eun merasa sedikit lega, karena keadaan seperti ini akan membuat pasien cepat menemui ajalnya jika mereka terlambat menyelamatkan satu menit saja.
"Pantau terus vital sign dan glukosa darahnya, suntikkan insulin yang kedua satu jam lagi hingga glukosa darahnya kembali normal. Lakukan pemeriksaan ECG, pasang kateter urin dan segera berikan semua hasil pemeriksaan ECG, darah dan urinnya kepadaku. Aku akan menghubungi Dokter Spesialis Interna," ujarnya panjang lebar.
Dua orang juniornya yang intership mengangguk mengerti dengan wajah ketakutan. Ko Eun lalu beranjak menuju nurse stasion dan mulai melihat monitor komputer sambil meletakkan telepon di antara kepala dan pundaknya.
Ko Eun kembali ke ruang kerja dokter jaga setelah keadaan di Emergency room sedikit lebih tenang. Setelah itu dia harus menyelesaikan laporannya untuk dikirim ke ruang rawat inap agar pasien bisa segera dipindahkan dari Emergency room. Dia mulai membaca beberapa lembar film hasil CT-Scan saat sebuah tangan menepuk pundaknya.
"Hei, kau tidak istirahat dahulu? Aku tahu kau belum tidur dari kemarin," seorang perempuan dengan jas putih yang sama dengannya kini duduk di sebelahnya.
"Aku baik-baik saja, Sunbae," balasnya dengan sebuah senyuman andalannya untuk menutupi segala masalah yang sedang mengisi otaknya.
Wanita itu kembali menyenggolkan lengannya pada Ko Eun, "Eun, sudah aku bilang kau tidak perlu memanggilku seperti itu. Kau ini seperti adik kandungku. Sekarang letakkan mouse itu, dan tutup aplikasi rekam medisnya."
"Kak Wendy, apa yang kau lakukan," protesnya saat tangannya digerakkan paksa untuk menekan tanda silang di aplikasi rekam medis oleh Wendy.
Ko Eun menghela napas panjang saat seniornya ini menertawakannya. Dokter Wendy Son, dokter genius yang menjadi panutannya sejak jadi dokter internship. Wendy adalah lulusan terbaik Residensi Dokter Spesialis Bedah Thorax di John Hopkins University School of Medicine dan mendapat kehormatan dari Presiden US atas prestasinya. Wendy yang mengajarinya banyak hal, membagi banyak pengalaman berharga bagi Ko Eun yang masih residen satu tahun di Emergency room, menjaga dan memperlakukannya seperti adik kecilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nobody But Me
FanfictionBut I'll be selfish and I don't care. Cause I want you, I need you all for me. Now I don't want anybody thinking just maybe. Nobody but me. Mark Lee to dr. Ko Eun © chielicious, 2016