Mereka berdua sekarang sedang duduk di ayunan taman. Ko Eun yang sedang merengut sebal, dan Mark yang duduk santai di atas ayunan sebelah Ko Eun sambil mengayunkan kakinya. Hari ini sebenarnya adalah jatah libur Ko Eun setelah jaga malam tiga hari berturut-turut, tapi Mark sukses mengganggu tidur siangnya dengan merengek minta ditemani pergi ke taman. Dia bilang sedang bosan dengan pekerjaan di kantor.
Mark tahu Ko Eun pasti sedang kesal padanya, membuatnya sedikit merasa bersalah sebenarnya. Dia hanya mengajaknya bicara sejak setengah jam yang lalu, berniat untuk menghibur Ko Eun, tapi gadis itu masih saja cemberut seperti sekarang.
"Eun," panggil Mark pada Ko Eun yang sekarang ikut mengayunkan badannya di ayunan. "I'm so sorry."
Ko Eun menghela napas panjang. Ya, sudahlah. Dia sebenarnya sudah dapat beberapa jam menebus jatah tidurnya dan juga perlu keluar untuk menghibur dirinya.
"Iya, apa boleh buat."
Mark terkekeh melihat Ko Eun yang masih saja menekuk wajah cantiknya. "Ikhlas?"
"Iya."
"Benar sudah tidak kesal?"
"Iya."
"Dari tadi jawabannya singkat terus."
"Lalu kau ingin aku menjawab seperti apa?" Mark malah tertawa kecil. Sudah lama dia tidak mengerjai Ko Eun lagi, rasanya sungguh menyenangkan melihat wajah sebal Ko Eun yang justru jadi lucu di matanya.
"Kalau begitu senyum, jangan cemberut lagi."
Ko Eun sekarang menunjukkan senyuman lebar yang dipaksakan. Lagi-lagi membuat Mark gemas dan ingin mencubiti pipi Ko Eun saat itu juga.
"Kamu ingin makan sesuatu? Aku yang traktir deh, sebagai permintaan maaf," kata Mark.
Dalam hatinya Ko Eun berteriak menang. Ya, setidaknya dia dapat traktiran makan dari Mark.
"Benar? Apapun?" Mark mengangguk menyetujui usul Ko Eun.
Tangan gadis itu kemudian menggamit pergelangan tangan Mark, menyeretnya agar bangun dari tempat duduknya di ayunan. Mumpung ada yang mentraktir, sebenarnya Ko Eun hanya ingin makan gelato ice cream dan churros di kedai ice cream tidak jauh dari taman yang akhir-akhir ini sangat populer di kalangan anak muda. Yah, meskipun cuacanya sedang tidak mendukung untuk makan ice cream.
Beberapa langkah mereka dari tempat ayunan, tiba-tiba mereka mendengar teriakan seorang anak kecil. Ko Eun menoleh dan mendapati seorang anak laki-laki terjatuh dari jungkat-jungkit tidak jauh dari ayunan. Anak itu menangis kencang, reflek Ko Eun langsung berlari ke arah anak itu diikuti dengan Mark di belakangnya.
"Kau tidak apa-apa?" Mark berusaha membantu anak itu bangun dari posisi jatuh tengkurap, tangan kanannya tertindih badan dan kepalanya berdarah karena terbentur besi jungkat-jungkit.
Mark menjadi panik setelah tahu ada luka di kepala anak itu yang membuatnya berdarah. Ko Eun sebenarnya juga sedang panik, tapi dia berusaha agar tetap tenang dan berpikir jernih. Sedangkan anak laki-laki itu masih saja menangis kesakitan.
Ko Eun mengambil sapu tangan dari dalam saku roknya, dan menutup luka di kepala agar darahnya berhenti. Dia juga memeriksa lengan tangan anak itu.
"Kakak ini seorang dokter, jadi katakan dimana yang sakit padanya," ujar Mark. Anak itu mengangguk dengan sesenggukan.
Ko Eun meraba lengan bawah anak itu, tidak ada luka terbuka memang, tapi dia menemukan ada sesuatu yang aneh. Serta anak itu masih menangis kesakitan saat disentuh lengan dan diminta untuk menggerakkan jari tangannya.
"Sepertinya dia patah tulang," kata Ko Eun, dia mengeluarkan ponselnya berusaha menelpon ambulance. Sialnya ponselnya tiba-tiba mati karena kehabisan baterai. Ko Eun mengumpat dalam hati. Di saat genting seperti ini bisa-bisanya ponselnya low battery.
"Mark, pinjami aku ponselmu dan telepon 119!"
"Ponselku ketinggalan di mobil."
Ko Eun lagi-lagi mengumpat dalam hati. Dia harus berpikir dua kali saat berada dalam suatu keadaan yang seperti ini. Ko Eun melepas scraft panjang yang melingkar di lehernya. Kemudian melilitkan di lengan bawah anak itu ke arah lehernya menyerupai arm sling. Ko Eun menyuruh Mark untuk menggendong anak itu ke mobil dan membawanya ke Rumah Sakit.
*
*
*
*
"Dari hasil foto X-Ray, dia patah tulang radialis dan retak di pergelangan tangannya," kata Dahyun pada Ko Eun di dekat nurse station.
Mark dan Ko Eun berhasil membawa anak itu ke Rumah Sakit, setidaknya di Emergency Room dia mendapatkan perawatan. Ko Eun hanya mengangguk, dia cukup lega setelah sampai di Rumah Sakit. Entahlah, Ko Eun hanya merasa bertanggung jawab karena dia tenaga medis yang jadi saksi mata di sana.
"Kata dokter Ortopedi, kita harus memasang gips," tambah Dahyun.
"Dia hanya sendirian di taman, sunbae. Kita bahkan belum bisa mendapatkan kontak orang tuanya," kata Ko Eun.
"Kalau tidak segera dipasang gips dia akan semakin kesakitan, tidak ada cara lain, dokter Ko," Ko Eun semakin sulit untuk membuat keputusan. Bagaimana pun juga anak itu harus segera ditangani.
"Ya. Kita tidak bisa memasang gips tanpa tanda tangan persetujuan dari orang tua atau walinya. Atau kita dinyatakan melanggar kode etik jika terus memaksa. Aku tahu itu, sunbae."
Kepalanya tiba-tiba saja berkedut keras. Anak itu tidak boleh dibiarkan kesakitan, dia juga punya hak untuk mendapatkan pelayanan terbaik di Rumah Sakit. Tapi mereka tidak bisa juga seenaknya mengambil tindakan kalau tidak ada tanda tangan persetujuan dari pihak keluarga pasien. Tenaga medis juga terikat oleh hukum dan undang-undang. Jika terjadi kesalahan, maka pihak keluarga boleh menuntut karena tidak adanya lembar persetujuan sebelumnya.
Dahyun meninggalkan Ko Eun sendirian di dekat nurse station. Kemudian Ko Eun menghampiri Mark yang berdiri tidak jauh dari bed anak kecil tadi.
"Bagaimana?" tanya Mark setelah melihat Ko Eun.
Ko Eun menghela napas dalam, "kami belum bisa menemukan nomor telepon keluarganya. Karena harus segera dipasang gips, jadi aku harus menandatangani surat persetujuan pemberian tindakan."
"Eun, kita yang membawa dia ke sini bersama. Aku yang akan tanda tangan."
"Tapi, Mark..."
"Dokter Ko, bagaimana..." Dahyun yang berjalan mendekat hendak menghampiri Ko Eun tiba-tiba saja menghentikan ucapannya. Dia membulatkan matanya melihat siapa yang sedang bersama Ko Eun.
Sedangkan Mark tidak kalah terkejut ketika dia menoleh dan melihat sosok itu berada di depannya. Dia tidak sedang bermimpi. Dia melihatnya kalau itu benar-benar nyata.
"Dahyun.."
*
*
*
*
Chapter kemarin kayaknya saya bikin cliffhanger banget ya hehehe
Dan yap memang Dahyun ada hubungannya sama Mark! nanti di next chapter ada mereka lagi 😂😂✌✌ Fyi gaes, 119 itu nomor Internasional buat panggilan emergency yang biasanya nyambung ke Ambulance, kalau di Indonesia nomornya 118. Jadi kalau ada kecelakaan atau keadaan emergency seperti ada orang tiba-tiba kritis di jalan atau dimanapun di dekat kalian, jangan sibuk apdet status ya, langsung telpon aja itu nomornya hehe 😁😁😁
Thanks for reading~ see you soon!
KAMU SEDANG MEMBACA
Nobody But Me
FanfictionBut I'll be selfish and I don't care. Cause I want you, I need you all for me. Now I don't want anybody thinking just maybe. Nobody but me. Mark Lee to dr. Ko Eun © chielicious, 2016