[27] Love is

963 123 24
                                    

Pukul empat sore tapi di luar sudah tampak gelap karena mendung yang dari tadi siang sudah menggantung di langit. Ko Eun menutup aplikasi rekam medis yang ada di komputer milik ruangan dokter jaga. Dia juga mengemasi beberapa buku tebal yang sempat ia baca untuk bahan referensi mendiagnosa dan membawanya ke lemari loker miliknya. Setelah selesai berganti baju dan dan mengakhiri jam dinasnya, Ko Eun bergegas ke lobi. Menunggu supir pribadi, kata Son Chaeyoung yang akhir-akhir ini jadi suka menggodanya dan memanggil Mark dengan sebutan itu.

Sebenarnya Ko Eun sudah bilang berkali-kali pada Mark, dia bisa jalan kaki. Dan Mark juga tahu letak apartemen Ko Eun tidak terlalu jauh dari Rumah Sakit. Tapi laki-laki itu tetap saja memaksa dengan alasan ini itu.

Ngomong-ngomong soal Mark, dadanya selalu saja menghangat tiap kali dia memikirkan pemuda itu. Ada banyak waktu yang sudah ia lewati bersama Mark. Ketika dia harus melewati masa sulitnya, Mark yang selalu datang jadi benteng pertahanan pertama yang melindunginya. Juga saat semua masalah masa lalu sudah mereka tuntaskan beberapa bulan yang lalu, Mark yang selalu menggenggam tangannya untuk bisa jadi lebih kuat.

Satu jam yang lalu, Mark menelponnya dan berkata akan menjemputnya saat pulang karena takut Ko Eun kehujanan. Ya, diluar memang sedang mendung dan beberapa hari ini intensitas hujan sedang lebat-lebatnya setiap sore. Sekarang saja sudah gerimis yang tetap saja membuat basah jika nekad menerjangnya tanpa payung atau jas hujan.

Ko Eun berdiri di depan pintu kaca lobi Rumah Sakit, menunggu Mark yang bilang sepuluh menit lagi akan sampai di sana. Tangannya mengeratkan jaket kebesaran yang Mark pinjamkan padanya kemarin. Wangi tak biasa yang keluar dari benda itu entah kenapa membuat Ko Eun sangat menyukainya. Benar sepuluh menit kemudian, langkah kecil Mark mendekatinya sambil membawa payung.

Laki-laki itu dengan cengiran lebarnya menarik tubuh Ko Eun yang lebih kecil darinya agar lebih mendekat padanya. Alasannya lagi-lagi cukup cheesy, agar Ko Eun kebagian payung dan tidak kehujanan. Pada akhirnya gadis itu menurut dan membiarkan lengan Mark memeluknya.

Ko Eun beberapa kali mengibaskan tangannya pada permukaan jaket berwarna biru tua itu yang sedikit basah. Dan Mark menyalakan mesin mobilnya.

"Makan dulu ya, tadi aku skip makan siang karena harus mengerjakan dokumen presentasi," kata Mark.

Ko Eun sudah hafal kebiasaan Mark yang satu itu, sampai dia juga bosan mengingatkan. Mungkin kalau sekarang Ko Eun mengomeli Mark, pemuda itu sudah bisa menjawab Ko Eun dan menirukan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya. Sudah terlalu sering sampai yang menasehati pun jadi bosan sendiri karena kebiasaan buruk Mark tidak pernah bisa berubah.

"Kebiasaan deh kamu. Awas saja kalau sakit aku tidak mau lagi repot-repot merawatmu," ujar Ko Eun yang hanya ditanggapi dengan kekehan pelan oleh Mark.

"Kamu sudah sering ngomong begitu, tetap saja kalau aku bilang aku lagi sakit kamu masih mau merawatku."

"Ya masa aku mau biarin kamu sakit, mana bisa begitu. Itu melanggar kode etik kedokteran."

Mark yang gemas dengan tingkah Ko Eun, mengacak-acak puncak kepala gadis itu dengan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya sibuk memegangi kemudi. "Of course, bu dokter! Bilang aja tidak tega karena kamu sayang sama aku."

Kali ini Mark mendapatkan cubitan cukup keras di pinggangnya. Dia mengaduh pelan, kemudian malah tertawa melihat Ko Eun yang sekarang sedang mengerucutkan bibirnya.

Lima belas menit perjalanan menuju restoran favorit Mark, hujan gerimis masih saja belum berhenti. Setelah sampai pun gerimisnya masih belum terang juga, malah sepertinya lebih deras dari yang tadi. Mereka menghabiskan waktu cukup lama di dalam restoran. Makan dan mengobrol sambil menunggu hujannya berhenti.

Duduk di samping jendela kaca sambil memandangi hujan dari dalam restoran ini memang jadi momen terbaik. Entahlah, Ko Eun hanya suka dengan suasana yang seperti ini. Mengawasi air langit itu jatuh dari jendela kaca besar ini membuat suasana berubah jadi romantis menurutnya. Mungkin hampir dua jam dua orang ini masih betah duduk di sana hingga gerimisnya berhenti dan Ko Eun minta diantar pulang.

"Eun, aku malas pulang nih," ujar Mark setelah mobil yang ia kemudikan berhenti di halaman depan Nine Building.

"Mau jalan-jalan lagi? Kamu ini memang tidak ada capeknya."

Mark tertawa. Semua alasannya saat Ko Eun mau turun dari mobil sudah dihafal semua oleh gadis itu. Sebenarnya Mark cuma belum rela kalau harus berpisah dengan Ko Eun meskipun besok mereka bisa bertemu lagi. Untuk kesekian kali, ini adalah alasan yang cheesy.

"Makan ice cream churros mau tidak?"

"Jangan aneh-aneh, Mark."

"Kalau begitu aku mampir ke dalam, boleh ya? Buatkan aku cokelat panas."

Memang pemuda ini punya seribu alasan yang membuat Ko Eun kesulitan menolaknya dan akhirnya menyerah. Sekarang Mark bisa duduk manis di sofa depan televisi apartemen Ko Eun, sedangkan si gadis sedang berkutat di dapur membuatkan cokelat panas untuk Mark.

"Duh istriable begini, jadi pingin ngelamar," kata Mark saat segelas cokelat panas diserahkan ke tangannya.

Ko Eun mengambil duduk di samping Mark. Dia menyesap cokelat panasnya, tanpa menghiraukan Mark yang akhir-akhir ini jadi sering melontarkan gombalan norak padanya. Tangannya mencari remot televisi dan menyalakan benda kotak empat puluh dua inci itu.

"Mana ada perempuan yang mau kalau kamu kasih makan gombalan setiap hari. Cuma aku kali ya yang sabar digombalin setiap hari."

"Jadi sudah tidak mau digombalin nih? Maunya dilamar langsung?" katanya percaya diri.

Ko Eun mencubit pinggang Mark lagi. Laki-laki itu tidak sadar kalau kata-katanya sudah membuat seorang anak gadis jadi terbawa perasaan seperti ini. Ko Eun kembali mengerucutkan bibirnya. Mark yang gemas melihat tingkah gadis itu meletakkan cangkir keramik miliknya ke atas meja. Kemudian tangannya menarik tubuh Ko Eun dan membawa ke dalam pelukannya. Aroma apel yang menguar dari rambut Ko Eun masih saja jadi favoritnya.

Mark sudah sering kali memancingnya bicara tentang hubungan yang lebih serius. Ya, tidak ada yang salah dalam pembicaraan pasangan usia dua puluh tujuh tahun yang membicarakan hal sensitif seperti itu. Mark mengerti dan menghargai pendapat Ko Eun untuk menyelesaikan masa residensinya dua sampai tiga tahun lagi. Lagipula dia sudah janji untuk sabar menunggu. Tapi Mark selalu saja dibuat gemas oleh Ko Eun yang tampak salah tingkah pada pembicaraan mereka.

"Aku serius, Eun. Aku akan selalu menunggumu sampai kau siap."

Tidak ada jawaban, yang ada hanya lengan Ko Eun yang sudah melingkar membalas pelukannya. Mark tertawa kecil sambil mengecup puncak kepala Ko Eun. Karena ia selalu percaya, love will come in the right time, right place with right person, so just be patience and have faith.

*

*

FIN

*

*

Akhirnya tamat juga haha
Saya harus banyak-banyak makasih sama kalian semua yang sudah mau membaca cerita abal kayak begini 😂😂 tanpa support kalian sebagai reader saya nggak akan bikin ini sampai selesai. Semoga tetep seneng baca chapter ini meskipun ada kekurangan dalam cerita saya. Maafkan kalau misal tidak sesuai harapan kalian ya.
Pokoknya makasih banget sudah membaca Nobody But Me dari awal hingga akhir #deepbow

Thanks for reading this story, see you on my another story (baca Mean To Be ya wkwkwk)
I love you sooooo much 😘

Nobody But MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang