[24] Tears

780 119 13
                                    

Ada saat dimana Emergency room terlihat seramai pasar, ada kalanya juga sepi dan hanya ada satu dua pasien dari pagi hingga siang. Dan saat ini Emergency room sedang lenggang. Ko Eun minta ijin sebentar untuk keluar pada kepala perawat Park yang sedang duduk di nurse station. Dia juga berpesan kalau terjadi sesuatu atau ada pasien gawat darurat, agar segera menelponnya. Ko Eun berjalan keluar melewati lorong Rumah Sakit yang ujungnya adalah pintu ke arah lobi. Ia masuk ke dalam elevator, menekan tombol dengan angka tiga.

Kali ini dia merasa bebannya semakin berat. Banyak masalah yang harus ia pikirkan akhir-akhir ini. Tapi Ko Eun masih tetap berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan semua orang. Ko Eun memang begitu, gadis itu agak tertutup kalau soal masalah pribadinya. Dia akan menampakkan wajah yang biasa saja dan orang tidak akan tahu apa yang terjadi sebenarnya padanya.

Dan itu dia lakukan pada Mark. Bukan Ko Eun tidak mempercayai Mark untuk berbagi cerita. Ko Eun hanya tidak ingin membuat laki-laki itu terus khawatir dan menjadi beban Mark. Saat dia mendadak membatalkan rencananya dengan Mark karena harus ke ICU melihat ayahnya tempo hari, Ko Eun hanya bilang kalau dia ada pasien emergency. Itu alasan paling logis saat itu dan untungnya Mark percaya.

Kadang dia harus merasa bersalah pada Mark yang baik dan selalu bilang tidak usah sungkan untuk meminta bantuannya. Dia sudah sejak lama memendam masalah yang sebenarnya begitu besar itu sendirian. Dan tidak ingin membuat siapapun terseret, termasuk Mark.

Setelah pintu elevator terbuka, dia melangkah menuju salah satu ruangan di lantai tiga. Ruangan yang di batasi dengan tiga lapis pintu kaca bernama Intensive Care Unit. Pintu pertama terbuka, Ko Eun masih yakin dengan langkahnya. Kemudian dia harus mengganti jas dokternya dengan jas khusus untuk bisa masuk ke dalam ICU setelah melewati pintu kaca kedua. Setelah melepas jas dokter berwarna putih itu dan mencuci tangannya dengan alcohol gliserin Ko Eun melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam. Di depan pintu kaca yang terakhir langkah itu tiba-tiba terhenti sendiri. Selalu saja seperti ini setiap kali ia pergi ke sini.

Rasa gusar itu yang tiba-tiba menyergapnya. Ko Eun menarik napasnya dalam-dalam, dan meyakinkan dirinya untuk bisa berjalan ke dalam. Saat pintu kaca ketiga terbuka, maka akan terdengar suara bising monitor yang sangat dominan. Beberapa bed terisi oleh pasien-pasien kritis yang masih koma dibantu dengan ventilator yang menjadi alat untuk bernafas pengganti paru-paru.

Kakinya melangkah agak ke dalam. Di siang hari, ICU tidak sesibuk pada pagi hari. Sebagian tindakan perawatan bagi pasien dilakukan di pagi hari hingga pukul sebelas siang sudah mulai lenggang. Ko Eun tersenyum seorang perawat yang baru saja menyelesaikan tugasnya memberi obat untuk pasien.

Ko Eun menghentikan langkahnya di depan bed sebelah bed pasien yang diberi obat oleh perawat tadi. Di sana ayahnya sedang berbaring tidak sadarkan diri, bertahan antara hidup dan mati. Ini adalah hari kesepuluh ayahnya di rawat di ICU. Masih belum ada perkembangan yang berarti menurut dokter yang menangani ayahnya.

Mata cantik itu memandang nanar ke arah ayahnya yang tertidur. Tubuhnya yang diselimuti kain bergaris biru itu dipenuhi dengan kabel yang tersambung pada monitor di atas bed. Juga masker oksigen yang menjadi penyokong hidupnya. Hatinya akan merasakan sesak yang luar biasa setiap kali melihat ini. Penyesalan yang dia rasakan seperti berlipat-lipat.

"Maafkan aku, Yah."

Hanya itu yang bisa ia gumamkan berkali-kali. Matanya mulai mengabur oleh bendungan air mata di sudut matanya. Seseorang menepuknya dari belakang, dan cepat-cepat Ko Eun mengusap matanya.

"Kau di sini rupanya," kata dokter laki-laki yang memakai seragam khusus ICU berwarna hijau.

Ko Eun mengangguk, dan mencoba menampakkan senyumannya pada Do Kyungsoo, dokter spesialis neurologi yang lebih senior dari dirinya.

Nobody But MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang