BAB 15 Pertarungan Di Telaga

1.2K 27 0
                                    

Siok-bwee mengintil terus di belakang seebun Giok- hiong hingga tiba dipintu keluar, pikirnya:

"sebetulnya aku bisa menggerakkan alat rahasia untuk menenggelamkan dia ke dalam air, tapi sekarang ia sedang membopong Lim siangkong, apabila alat rahasia ku-gerakkan, niscaya Lim siangkong akan ikut berkorban.. aku tak boleh gegabah..."

Berpikir begitu, terpaksa ia pun menggerakkan tombol untuk menghentikan semua peralatan rahasia yang terpasang, Katanya kemudian:

"Di sini tak ada perahu, dengan cara apa kau hendak melewati jalur keluar ini?"

"Kau tak usah repot- repot..." Dengan menghimpun tenaga murninya, ia pun mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk menyeberangi jalur keluar tadi dengan mudah.

Memandang bayangan punggung Seebun Giok-hiong yang menjauh, sekali lagi siok-bwee berpikir:

"Tak nyana ilmu silat yang dimilikinya begitu hebat Kalau begini caranya, aku rasa meski semua alat rahasia kujalankanpun belum tentu bisa melukai dirinya."

Ketika ia mendongakkan kepalanya lagi, bayangan tubuh seebun Giok-hiong telah lenyap dari pandangan. Dengan termangu-mangu siok-bwee mengawasi permukaan air yang beriak. pikirnya lagi:

"Dua jam kemudian pengaruh racun itu akan hilang dan Lim siangkong akan tersadar dengan sendirinya. Waktu itu seebun Giok-hiong tentu akan sadar bila ia sudah dibohongi, itu berarti di kemudian hari akan semakin sulit untuk menipunya lagi.

Di tengah lamunannya, mendadak dari belakang tubuhnya terdengar seseorang menyapa dengan lembut: "Enci siok-bwee"

suara itu sangat dikenal, tanpa berpaling pun siok- bwee sudah tahu kalau Hiang- kiok telah datang.

Betul juga, waktu itu Hiang-kiok berdiri pada jarak tujuh-delapan depa di hadapannya dengan sepasang mata merah membengkak dan air mata masih membasahi pipinya,jelas baru saja ia menangis sedih, Dengan perasaan terkesiap ia berteriak: "Bagaimana keadaan nona?"

"Penyakit nona semakin parah" Hiang-kiok menghela napas panjang.

"Apa berbahaya?"

Hiang-kiok tidak menjawab, ia balik bertanya: "Ke mana perginya seebun Giok-hiong?"

"sudah pergi, bila ada urusan katakan saja"

"Aaaai... napas nona sudah sangat lemah dan setiap saat bisa putus, Hampir setengah jam aku menunggu ditepi ranjang, namun tak pernah kudengar ia mengucapkan sepatah kata pun-"

"Apakah kau sudah mencoba untuk memanggil nya ?"

Hiang-kiok menggeleng, "Aku tidak berani, takut mengganggu ketenangannya."

Dengan kening berkerut siok-bwee segera menegur "sudah tahu penyakit nona sangat parah dan kondisinya gawat, bukan menemaninya di dalam, mau apa kau lari kemari?"

"Aku gugup, panik dan tak tahu apa yang mesti kukerjakan, semakin kupandang keadaan nona, perasaanku makin tak karuan, aku hanya ingin menangis dan menangis terus, sampai air mataku membasahi pipi nona ..."

"Budak sialan, kenapa kau tak bisa menahan diri, apakah mengganggu ketenangan nona?"

"Yaa, nona terbangun karena terkena air mataku, ia membalikkan badannya sambil memanggil Lim siangkong, setelah itu tertidur lagi."

"Apa? Dia memanggil Lim siangkong?"

"Betul," Hiang-kiok manggut-manggut, "Ia memanggil dengan suara yang amat jelas, aku tak bakal salah dengar oleh sebab itulah aku lari ke sini untuk mengajak cici berunding, apa perlu mengundang Lim siangkong..."

Pedang Keadilan IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang