00. Prolog.

8.1K 438 157
                                    


Rio terus berlari secepat mungkin menghindar dari kejaran semua anak buah ayahnya. Ia tidak tahu mengapa mereka yang berjumlah lima belas orang itu terus mengejar dan menembakkan peluru ke arahnya tanpa henti.

Door!!

Dorrr!!

Suara tembakkan kembali terdengar saat beberapa anak buah ayahnya menarik pelatuk pistolnya dan mengarahkan pistol itu ke arah Rio, beruntung Rio masih sempat menghindar sehingga peluru itu tidak menembus kulitnya.

Rio terus berlari kemudian berbelok ke sebuah gang dan bersembunyi di balik dinding. Ia melongokkan kepalanya ke jalan saat dia berlari tadi, tidak ada anak buah ayahnya. Rio menyandarkan punggungnya pada dinding, napasnya terengah-engah karena terus-terusan berlari tanpa henti.
Tangannya mengusap kasar darah yang keluar dari bibirnya yang sedikit sobek, wajahnya dipenuhi banyak luka lebam akibat berkelahi dengan mereka.

"Argh." Pemuda itu menggigit kuat bibirnya saat merasakan kepalanya berdenyut sakit. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya saat pandangannya mulai mengabur.

"Lo harus kuat Rio, lo nggak boleh lemah." Katanya mensugestikan dirinya untuk tetap kuat meski tak bisa dipungkiri bahwa seluruh tubuhnya terasa sakit. Belum lagi, lengan kirinya yang sempat tertembak tadi membuatnya semakin pusing. Darah segar itu, aroma dari darah itu membuat dirinya lemah.

Rio memejamkan matanya mencoba untuk menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, rasanya ia sudah tidak kuat lagi untuk berlari lebih jauh.

'Ya Allah, tolong lindungilah hamba-Mu ini dari mereka. Berikanlah hamba kekuatan untuk terus berlari dari mereka, Ya Allah,' doanya dalam hati.

Dengan tertatih, Rio berjalan ke arah jalan raya seraya memegangi lengan kirinya yang tertembak, mencoba untuk menghentikan darah yang keluar dari lengannya. Belum ada sepuluh langkah Rio berjalan, Rio mendengar seseorang berteriak.

"ITU DIA! CEPAT TANGKAP!!"

Rio yakin suara itu berasal dari salah satu anak buah Ayahnya dan benar saja saat ia menengokkan kepalanya ke belakang, segerombol pria berbadan kekar yang memakai pakaian serba hitam berlari ke arahnya disertai tembakkan pistol yang mereka layangkan.

"Kenapa mereka cepet banget nemuin gue, sih?" gerutunya kesal, "apa mereka nggak tau kalau gue udah capek terus-terusan lari kayak gini."

Rio segera berlari menghindar dari kejaran mereka, tak dipedulikan tubuhnya yang memberontak untuk istirahat. Rio tidak peduli, ia tak ingin mati di tangan anak buah ayahnya itu, ia masih ingin hidup.

TINN!! TINNN!!

Suara klakson mobil yang memekakkan telinga seketika menghentikan langkahnya yang memburu. Kakinya terasa kaku tak bisa digerakkan, seketika saja ia seperti lupa caranya berlari agar terhindar dari mobil yang melaju kencang di depan matanya. Kedua matanya terpejam saat cahaya lampu mobil menyorot wajahnya, kedua tangannya reflek terangkat di depan wajah.

Ckiiittt!!

Braakkkk!!

Brughhh!!

Seketika saja tubuh Rio berhantaman dengan badan mobil, kemudian bergulingan di atas kerasnya aspal. Satu hal yang Rio dengar sebelum gelap menguasai kesadarannya adalah teriakan beberapa orang yang menyaksikan kejadian itu disertai suara tembakkan yang memekakkan telinga.

'Semoga Tuhan masih ngizinin gue untuk melihat matahari terbit'

***Till The Sun Rises***

To be continued...

30 November 2016.

462w.

Till the Sun RisesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang