Shilla dan Sivia datang terlambat. Jalan yang mereka lalui tiba-tiba saja terjadi kecelakaan, kemacetan terjadi meski tak sampai tiga puluh menit karena polisi dan ambulance cepat datang tapi tetap saja menghambat perjalanan mereka yang diburu waktu. Ketika mereka sampai ke lokasi kejadian, mereka tak mendapati siapa pun. Hanya bekas perkelahian saja, dan dua motor yang mereka kenali sebagai motor Cakka dan motor Rio yang dipakai Alvin.
"Sial, orang-orang itu pasti membawa mereka."
"Terus apa yang harus kita lakukan?"
Shilla terdiam sebentar, keningnya berkerut memikirkan sesuatu, "Kayaknya gue tahu orang-orang itu akan membawa mereka ke mana?"
"Ke mana?"
Shilla tak menjawab namun langsung menancapkan gas mengemudikan mobilnya di atas rata-rata menuju suatu tempat yang Sivia tak tahu ada di mana.
Dan di sinilah mereka. Di dalam suatu gedung yang tak terpakai. Berhasil memasuki gedung tanpa ketahuan. Berjalan mengendap-ngendap berusaha untuk tak menimbulkan suara sedikitpun. Sepatu yang tadi dikenakan mereka pun telah di lepas guna meminimasir suara yang ditimbulkan karena sepatu yang berbenturan dengan lantai.
Suara langkah kaki yang terdengar mendekat otomatis membuat mereka lantas segera bersembunyi di balik kumpulan drum-drum besar bekas minyak di sana.
Mereka berjongkok. Menyembunyikan tubuh mereka di balik drum, sesekali mengintip untuk melihat apa yang terjadi.
Dua orang berpakaian serba hitam berdiri tak jauh dari mereka tengah berbicara.
"Kurang dari empat puluh menit lagi dia akan datang, kumpulkan beberapa orang untuk membawanya pada Tuan."
"Dia? Dia siapa?" Tanya Sivia bingung. Shilla berdesit, menaruh telunjuknya di depan bibir menyuruh Sivia diam supaya mereka tidak ketahuan.
"Bukankah kita berdua saja cukup? Lagi pula dia akan datang dengan sendirinya pada Tuan tanpa perlawanan." Pria yang satu lagi menyahut.
Temannya menggeleng, menatap pria di hadapannya datar. "Tidak. Ingat tentang kejadian tiga tahun yang lalu?" Pria yang lain mengangguk. "Tuan ingin kita menyerang dia."
Mendengar penuturan itu pria dengan tubuh tegap berotot namun lebih lendek dari pria yang satunya lantas berdecih. "Jadi kita harus melukainya?"
Pria yang lebih tinggi hendak menyahut, namun sebuah suara menghentikannya yang hendak berbicara.
"Do not hurt him. Just bring him to Master."
Kedua pria itu lantas berbalik ke arah sumber suara, seorang pria dengan tubuh paling tinggi di antara mereka dengan kulit putih khas Eropa, rambut blonde dengan wajah bule dan mata biru.
"Max?" Ucapan lirih dari Shilla lantas membuat Sivia menoleh hanya untuk melihat kedua mata Shilla yang membola menatap pria bule itu lekat.
"Max? Siapa?"
Shilla diam. Tak menjawab pertanyaan yang Sivia ajukan. Gadis itu masih fokus menatap ke depan, mendengar pembicaraan ketiga pria itu.
"Why?" Pria yang paling pendek menyahut, alisnya terangkat bingung.
Pria bule itu diam. Membuat pria yang satunya berdecak gusar. "Are you turning into a traitor now?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Till the Sun Rises
ActionDulu, Rio hanyalah seorang bocah 'Ice' yang teramat dingin namun mencoba untuk berubah menjadi seceria matahari terbit, hingga ia sadar bahwa matahari tak selamanya akan terbit dan ada saatnya matahari akan terbenam dalam titik lemahnya. Dan se...