21. Pertemuan Yang Tak Disengaja.

1.8K 156 11
                                    


Untuk hari ini biarkan Rio tak menyukai matahari. Matahari telah membuatnya panas dan kegerahan. Baju seragamnya telah basah karena bermandikan keringat. Belum lagi kedua matanya silau karena terus menengadahkan kepalanya ke atas menatap bendera merah putih yang berkibar tertiup angin.

Kedua tangan Rio bersilang menarik pelan kedua telinganya, kaki kirinya terangkat tertekuk ke belakang, dan mulutnya tak pernah berhenti menggerutu menyumpah serapah Shilla, si sepupu kurang ajar yang telah membuatnya dihukum oleh Pak Bagas karena bolos pelajaran.

Masih teringat jelas bagaimana Shilla menjewer telinganya karena tidur di rooftop dan bolos pelajaran Pak Bagas. Dan dari rooftop hingga masuk ke dalam kelas Shilla masih terus menjewer telinganya yang otomatis membuatnya ditertawakan seluruh teman-teman sekelasnya. Dan sekarang di sinilah Rio, berdiri di depan tiang bendera selama satu jam kurang tiga belas menit. Huh, berarti tiga belas menit lagi bel pulang sekolah akan berbunyi dan dia bisa terbebas dari hukuman.

"Sepupu kurang ajar, baru juga enam jam ada di sekolah tapi udah bikin gue kelaperan sama dihukum." Rio mendengus, "gue sumpahin lo jadian sama monyet, Shill."

Rio melihat jam hitam di pergelangan tangan kanannya. Pukul 14.24. Enam menit lagi tetapi terasa enam tahun bagi Rio menjalani hukuman ini. Rio mengusap keringat di dahinya dengan punggung tangannya, kemudian kembali ke posisi semula; menyilangkan tangan dan memegang kedua telinganya.

Cowok itu menengadahkan kepalanya lagi menatap bendera merah putih di ujung tiang bendera. Kali ini dia hanya diam, menutup mulutnya untuk tidak berbicara lagi karena mulai capek berbicara sendiri dan menguras energinya. Lagi pula tinggal beberapa menit lagi bel pulang sekolah akan berbunyi.

Rio tersentak kaget ketika merasakan dingin di pipi kirinya, sedetik kemudian pemuda itu menoleh, mendapati seorang gadis yang berstatus sebagai pacarnya selama kurang lebih satu tahun.

"Capek?"

"Banget." Rio mengambil botol air mineral yang disodorkan Ify, meminumnya hingga air mineral itu hanya tersisa setengah botol.

Ify menyenderkan tubuhnya di tiang bendera, menyilangkan kedua tangannya di dada, dan menatap wajah Rio yang berkeringat.

"Kok lo udah keluar sih, bukannya belum bel ya?"

"Gue izin ke toilet terus liat lo, ya udah gue beliin minuman. Lagian bentar lagi juga bel."

Rio tersenyum jahil, mencolek hidung Ify. "Perhatian banget sih. Kenapa nggak sekalian aja beliin makanan. Gue laper," kata Rio di akhiri dengan muka memelas seperti orang kelaparan.

"Ogah! Beli aja sendiri."

"Okey. Tapi lo harus temenin gue makan." Ify yang hendak protes mengurungkan niatnya ketika Rio bersuara lagi. "Dan nggak ada penolakan."


***Till The Sun Rises***

Gabriel menghentikan langkahnya di depan koridor kelasnya yang telah sepi. Tatapan matanya begitu tajam menatap ke satu titik di bawah sana. Di lapangan, di bawah tiang bendera seseorang yang dibencinya dan gadis yang--mungkin--dicintainya tengah mengobrol dan tertawa.

"Shit." Kepalan tangan itu begitu kuat seolah siap memukul siapapun yang membuatnya marah. "Kenapa gue bisa lupa untuk balas dendam sama pembunuh itu? Gue harus rebut Ify dan bunuh pembunuh itu. Iya harus," ucapnya penuh dendam.

Gabriel menatap Rio penuh dengan permusuhan dan dendam, hingga ucapan Rio saat mereka bertemu di tempat pemakaman muncul dengan tiba-tiba seolah mengingatkannya bahwa bukan Rio yang membunuh Vei.

Till the Sun RisesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang