Hujan turun membasahi tanah Jakarta. Petir dan gemuruh pun saling bersahutan memekakkan telinga, namun Gabriel masih tetap berada di sana. Di pemakaman Vei. Menekuk kedua lututnya dan mengelus lembut batu nisan itu, seolah batu nisan itu adalah kepala Vei.Matanya memancarkan begitu banyak kesedihan dan kekecewaan. Sedih karena Vei telah pergi darinya untuk selamanya, dan kecewa karena Rio lah yang membuat Vei meninggalkannya.
Tiga tahun. Selama tiga tahun dia belum bisa melupakan kejadian itu. Selama tiga tahun dia membenci Rio hingga saat ini. Namun, selama tiga tahun pula dia tak pernah bisa untuk benar-benar membenci Rio.
Di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Gabriel masih menyimpan perasaan itu. Perasaan sayang dan melindungi layaknya seorang kakak terhadap adiknya ke Rio. Dia masih menyimpannya. Tapi rasa bencinya ke Rio lebih kuat dibanding rasa itu.
'Dan gue mohon, lo harus percaya sama Rio. Apa pun yang terjadi nanti, lo harus percaya bahwa Rio nggak pernah khianatin lo Gab. Rio bukan seorang pembunuh.'
"Maaf Vei, gue nggak bisa buat percaya sama Rio lagi. Kepercayaan gue ke Rio udah mati. Rio yang udah membunuh kepercayaan gue sendiri," kata Gabriel ketika mengingat perkataan Vei untuk terakhir kalinya di koridor sekolah mereka tiga tahun yang lalu sebelum kejadian itu terjadi.
Gabriel kemudian berdiri, berjalan keluar dari pemakaman itu setelah tiga jam berada di sana. Bahkan dia baru sadar bahwa saat ini sudah jam setengah 6 sore ketika dia melihat jam di pergelangan tangannya.
"Gabriel." Suara itu berhasil menghentikan kegiatannya untuk membuka pintu mobil.
Gabriel menoleh, lantas mendengus mendapati Rio yang tengah berdiri di depannya. Gabriel kemudian membalikkan badannya lagi hendak memasuki mobil, namun dengan cepat Rio meraih bahu Gabriel untuk menghentikannya. "Dengerin gue dulu Gab."
Gabriel menatap Rio datar, melipat kedua tangannya di depan dada. Mencoba mendengarkan penjelasan Rio.
"Bukan gue yang bunuh Vei. Gue dijebak. Waktu itu, Vei SMS dan nyuruh gue untuk ke gedung itu dan---"
"Jadi lo nuduh Vei?" tanya Gabriel sarkastik.
Rio menggeleng tegas, "Gue nggak nuduh Vei, Gab. Tapi...," Rio menggantungkan kalimatnya. Gabriel hanya diam, menunggu Rio untuk melanjutkan kalimatnya, "tapi ayah gue yang udah bunuh Vei dan jebak gue untuk ke gedung itu biar lo salah paham. Waktu itu Vei SMS gue dan nyuruh gue ke gedung itu lalu ..."
***Till The Sun Rises***
Bunyi decitan ban motor yang bergesekan dengan tanah yang di lapisi semen itu terdengar memekakkan telinga ketika Rio tiba-tiba saja mengerem kuat motornya di depan sebuah gedung bertingkat yang tak terpakai lagi. Empat orang pria berbadan kekar berpakaian seperti preman jalanan tiba-tiba saja berdiri tepat di depan motornya, menghalangi jalan.
Rio mengernyit meski wajahnya masih tetap terlihat datar. Mengapa pria-pria itu menghalangi jalannya? Mengapa mereka ada di sini? Di mana Vei sekarang? Bukankah gadis itu yang mengirim SMS padanya untuk segera ke gedung ini? Tapi ... di mana Vei sekarang? Kenapa malah pria-pria tak berguna itu yang ada di gedung ini? Begitu banyak pertanyaan dipikirannya sekarang.
Dengan gerakan secepat kilat Rio melompat turun dari motornya--setelah dengan cepat menyangga motornya terlebih dahulu dengan standar samping--ketika salah satu dari pria itu melompat dan hendak menendang wajahnya. Rio berdecak kesal. Menatap empat pria itu tajam. "Siapa kalian? Di mana Vei sekarang?" ucap Rio datar, namun tatapan tajam itu terus menghujam mata ke empat pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Till the Sun Rises
ActionDulu, Rio hanyalah seorang bocah 'Ice' yang teramat dingin namun mencoba untuk berubah menjadi seceria matahari terbit, hingga ia sadar bahwa matahari tak selamanya akan terbit dan ada saatnya matahari akan terbenam dalam titik lemahnya. Dan se...