Gabriel berlari tergesa menuju ruang operasi, langkahnya tertatih sementara punggung tangannya berdarah karena jarum infus yang ia cabut secara paksa. Tak ada yang Gabriel pikirkan selain Rio termasuk rasa perih dan sakit pada perutnya yang tertembak. Gabriel terus berlari, menabrak beberapa orang tanpa meminta maaf.
"Rio meninggal,"
Gabriel terjatuh, tubuhnya tak sengaja menabrak seorang Perawat yang membawa obat-obatan. Bunyi benturan antara botol kaca, nampan aluminium, dan tubuh yang membentur ubin lantai seketika terdengar menciptakan suara berisik di lorong ICU yang sepi.
Perawat itu meraih botol-botol berisi pil dan meletakkannya kembali pada nakas, menghampiri Gabriel yang hanya menatap lantai dengan tatapan yang sulit diartikan. "Anda tidak apa-apa?" Perawat itu bertanya, tapi yang Gabriel lakukan hanya diam tanpa menjawabnya.
Si Perawat mengedarkan pandangannya, tidak ada siapa pun selain mereka berdua di lorong ICU lantas kembali menatap Gabriel, "Apa kau perlu bantuan?"
Gabriel masih diam. Sementara si Perawat masih berusaha untuk menunggu tanggapan dari pemuda yang merupakan pasien dari rumah sakit tempatnya bekerja itu, hingga suara Gabriel memecah keheningan dalam suaranya yang lirih.
"Maaf ...,"
Perawat itu mengernyit bingung meski senyuman lembut senantiasa masih terlukis pada bibir tipisnya.
"Ada seseorang yang mengalami luka tembak di kepalanya dan sedang dioperasi," Gabriel mendongakkan kepalanya, menatap penuh permohonan pada Perawat di hadapannya, "apa kau tahu di mana ruang operasinya?"
"Luka tembak, ya?" Perawat itu sejenak terdiam berpikir dengan kening berkerut mengingat sesuatu, "ada dua orang yang mengalami luka tembak di kepalanya hari ini dan semuanya meninggal saat dioperasi. Jadi bisa kau jelaskan ciri-ciri dari orang yang kau maksud?"
"Dia laki-laki, berusia tujuh belas tahun dan wajahnya hampir mirip dengan saya," Perawat itu memerhatikan bentuk wajah Gabriel dengan seksama.
"Ahh, apa orang itu bernama Arion Keiver Zaidan?"
Gabriel segera mengangguk, "Ya, itu namanya."
Perawat itu menunjukkan lorong di hadapan mereka, "Ruang operasinya tidak jauh dari sini, anda tinggal berbelok ke arah kanan saja lalu belok ke arah kiri, ruang operasinya berada di ujung. Tapi ...," raut wajah perawat itu berubah menyiratkan kesedihan, "Dokter tidak bisa menyelamatkannya, dia dinyatakan meninggal lima belas menit yang lalu."
"Terima kasih,"
Gabriel berucap pelan sementara Perawat itu mengangguk, membantu Gabriel untuk berdiri lantas berucap saat mendapati darah yang mengotori punggung tangan Gabriel, "Punggung tangan anda berdarah, sebaiknya kita mengobatinya terlebih dahulu."
Gabriel menggeleng pelan, "Tidak, terima kasih. Saya harus ke ruang operasi sekarang."
"Baiklah, jika terjadi sesuatu tolong panggil Dokter atau Suster."
Gabriel menggangguk pelan, sementara Perawat itu mulai berjalan pergi meninggalkannya. Gabriel masih di sana, berdiri pada lorong ICU dan menatap kosong pada lantai. Ucapan Perawat yang barusan ditabraknya tadi kembali berputar dalam kepalanya.
"Ada dua orang yang mengalami luka tembak di kepalanya hari ini dan semuanya meninggal saat dioperasi ...."
Bergatian dengan ucapan Shilla saat di kamar rawatnya, "Kita impas. Gue kehilangan tunangan gue, dan lo kehilangan kembaran lo."
Gabriel membalikkan badannya, "Suster!"
Perawat itu menghentikan langkahnya dan membalikkan badan melihat Gabriel, "Iya? Ada yang bisa saya bantu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Till the Sun Rises
ActionDulu, Rio hanyalah seorang bocah 'Ice' yang teramat dingin namun mencoba untuk berubah menjadi seceria matahari terbit, hingga ia sadar bahwa matahari tak selamanya akan terbit dan ada saatnya matahari akan terbenam dalam titik lemahnya. Dan se...