15. Awal dan Akhir Persahabatan. (2)

2K 160 46
                                    

Vei melangkahkan kakinya di pinggir jalan. Sekali lagi gadis itu menghirup udara malam yang menyejukkan. Dia menyukai angin malam meskipun angin malam kerap mengundang penyakit. Baginya, angin malam adalah hal yang paling menyejukkan setelah embun.

Jalan malam-malam di pinggir jalan raya sudah menjadi kebiasaannya atau bahkan hobinya. Ia tak takut apapun jika ada yang mengganggunya seperti preman atau orang-orang mabuk dan lainnya, karena ia sudah menguasai taekwondo dan karate sejak berusia enam tahun.

Langkah kakinya terhenti. Ia mencoba memfokuskan pandangannya menatap seseorang yang sepertinya sedang dikroyok di ujung gang. Tunggu. Baju seragam berwarna biru dongker dan celana hitam itu, ia mengenal seragam itu. Seragam khas sekolahnya. SMP Nusa Bangsa.

Dengan cepat Vei berlari ke arah mereka. Menepuk bahu salah satu preman lantas memukul rahangnya dengan kuat. Membuat preman itu terhuyung ke belakang. Tak cukup dengan itu, Vei kemudian menendang dan memukul preman lainnya hingga babak belur.

"Shit!" Gadis itu mengumpat tatkala lengannya tergores pisau yang di arahkan salah satu preman itu dan ia terlambat untuk menghindar. Vei menatap tajam preman yang telah menggores lengannya, dan dengan cepat gadis itu memukul dagu, perut, rahang dan menendang selangkangan preman itu dengan brutal hingga preman itu telah jatuh pingsan di tanah karena pukulannya.

Satu hal yang perlu kalian tahu, ia benci ketika kulitnya yang telah ia rawat tergores sesuatu. Dan sekarang, preman sialan itu telah menggores lengannya. Vei menatap dua preman lainnya, lantas menyeringai. Ia memainkan pisau yang telah ia rebut dari preman yang telah menggoreskannya.

Kedua preman itu menatap Vei waspada, gadis kecil di depan mereka tak bisa di remehkan lagi. Mereka sudah melihat bagaimana gadis itu berkelahi. Gerakan-gerakannya, mereka sudah tahu bahwa gadis itu pasti menguasai teknik beladiri.

"Kau sangat mengganggu gadis kecil," ucap salah satu preman itu yang membuat Vei semakin menyeringai lebar.

Dan perkelahian itu terjadi lagi. Dua lawan satu. Dua preman berbadan kekar dan seram melawan Vei yang bertubuh kecil dan kurus. Tapi di balik tubuh Vei yang terkesan lemah, Vei memiliki tenaga yang sangat kuat untuk melawan mereka berdua. Apalagi sudah satu preman yang berhasil ia kalahkan, jadi apa susahnya ia melawan dua preman itu lagi.

Vei menepuk kedua tangannya, tersenyum puas. Ia berhasil membuat ketiga preman itu jatuh pingsan di tanah dengan babak belur. "Ahh akhirnya gue berkelahi lagi. Udah lama tangan gue nggak mukul orang," ucapnya senang.

Gadis itu kemudian menoleh ke belakang. Di sana, siswa itu tengah bersandar di tembok dan menundukkan kepalanya sembari mencengkeram perutnya yang mengeluarkan banyak darah.

"Hei, lo nggak pa-pa?"

Bodoh. Sudah jelas perutnya berdarah kenapa malah nanyain itu sih Vei, gerutunya dalam hati.

"Perut lo berdarah." Vei hendak memapah siswa itu, namun tangannya dengan cepat ditepis siswa itu. "Hei, gue cuma mau nolongin lo dan bawa lo ke rumah sakit," ucap Vei sedikit kesal karena tingkah siswa itu.

Siswa itu hanya diam dan semakin menundukkan kepalanya. Mencengkram perutnya yang berdarah cukup kuat. Vei bahkan bisa mendengar ringisan kecil siswa itu.

"Kita ke rumah sakit sekarang." Vei kembali mengalungkan tangannya di tengkuk siswa itu, namun sekali lagi siswa itu menepis tangannya kasar.

Till the Sun RisesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang