Kedua kelopak mata Gabriel terbuka perlahan, cahaya lampu yang menerobos masuk ke dalam retinanya membuatnya seketika kembali menutup matanya, namun beberapa detik setelahnya mata itu kembali terbuka, kepalanya menoleh untuk mengetahui di mana dia berada saat ini; ruangan dengan cat putih, alat monitor jantung, sofa, tongkat penyangga infus, dan ranjang yang di tempatinya.
Helaan napas kasar ke luar dari mulutnya dengan kedua mata yang kembali terpejam lelah. Ini rumah sakit, Gabriel bergumam pelan dengan salah satu lengan yang menutup matanya. Suara jam dinding pada ruangan itu terdengar dalam keheningan, jarum panjang terus berputar dari angka 12, terus berputar ... berputar ... dan berputar hingga pada angka 9 suara teriakan Gabriel terdengar memecahkan keheningan di ruang kamar rawat bernuansa putih itu.
"RIO!!" Gabriel bangun terduduk dengan tergesa, lantas meringis kesakitan merasakan sakit yang menjalar di perutnya, baru tersadar jika perutnya terluka akibat tertembak.
"Rio? Di mana dia?" Gabriel mengendarkan pandangannya, hal yang bodoh untuk di lakukan sebenarnya karena di dalam ruangan itu hanya ada dirinya seorang. Tak menemukan siapa pun lantas membuat Gabriel mengumpat kesal.
Turun dengan tergesa dari atas ranjang hingga terjatuh karena kedua kakinya yang terasa lemas dan suara berisik benturan antara tiang penyangga infus dengan lantai terdengar di ruangan itu. Jarum infus tertarik karena mengikuti gravitasi tiang penyangga hingga menyebabkan darah ke luar dan rasa perih menjalar di punggung tangan Gabriel membuat cowok itu meringis pelan karena bukan punggung tangannya saja yang terasa perih namun juga perutnya.
Cklek!
Gabriel mendongak, tatapan matanya bertemu dengan Shilla yang baru saja membuka pintu. Gadis itu terdiam, berdiri di antara pintu menatap Gabriel dengan tatapan yang sulit diartikan lantas memalingkan wajah ketika Gabriel menatapnya lekat.
Gebriel memperhatikan baju pasien yang dikenakan Shilla juga perban yang melilit pada kepala juga lengan kanan atas gadis itu, lantas perasaan bersalah melingkupi dirinya saat mengetahui luka itu didapatkan akibat dari menyelamatkan dirinya.
Shilla berjalan menghampiri Gabriel, lantas membantu Gabriel untuk berdiri dan juga mendirikan tiang penyangga infus Gabriel. Tidak ada ucapan yang terlontar dari gadis itu, begitu pun Gabriel. Keduanya sama-sama diam, namun diam-diam Gabriel memperhatikan raut wajah Shilla, meneliti bagaimana ekspresi wajah gadis itu dan juga kedua bola matanya namun dia tidak bisa membacanya. Wajah gadis itu datar, sangat datar tanpa ekspresi seperti bukan Shilla yang dia lihat sebelum-sebelumnya, kedua bola matanya tak memancarkan apapun selain kehampaan. Cowok itu meraih dagu Shilla agar Gabriel bisa dengan jelas membaca emosi tersembunyi yang ada di dalam kedua mata Shilla, namun Shilla menepis tangannya, "Lepas."
"Shilla," Gabriel kembali meraih dagu Shilla, gadis itu kembali menepis tangannya namun dengan cepat Gabriel menangkup kedua pipi gadis itu membuat Shilla dengan jelas melihat pancaran khawatir di kedua bola mata hitam itu, "lo nggak apa-apa?"
Shilla mendengus, "Menurut lo?" tanyanya kesal.
Gabriel menunduk mendapati kesedihan, kemarahan, dan juga kebencian pada kedua bola mata cokelat itu. Cowok itu kembali mendongak, menatap mata Shilla, "Gue minta maaf, gue--"
Shilla menepis tangan Gabriel, memalingkan wajah, "Jangan minta maaf, semuanya percuma saja. Maaf lo nggak akan bisa mengembalikan semuanya seperti semula."
Gadis itu membalikkan badannya memunggungi Gabriel, "Gue ke sini cuma ingin bilang bahwa--"
"Shilla gue akan melakukan apapun untuk menebus kesalahan gue," Gabriel memotong ucapan Shilla, "tapi Max sendiri yang ingin--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Till the Sun Rises
ActionDulu, Rio hanyalah seorang bocah 'Ice' yang teramat dingin namun mencoba untuk berubah menjadi seceria matahari terbit, hingga ia sadar bahwa matahari tak selamanya akan terbit dan ada saatnya matahari akan terbenam dalam titik lemahnya. Dan se...