Rio terbangun lagi untuk kedua kalinya, cowok itu menatap wajah Gabriel yang tepat berada di sampingnya, lengkungan senyum tipis tersemat dalam bibirnya. “Ini nyata kan, bukan mimpi? Gabriel di sini. Gabriel di sini dan dia kakak kandung gue?”
Rio menghela napas berat, “Gue harap ini nggak mimpi dan semua akan baik-baik aja meski itu terasa sangat sulit untuk digapai,” gumamnya pelan.
Cowok itu merogoh saku celananya, mengambil handphone miliknya yang sedari tadi mati lantas menyalakannya hanya untuk mendapati banyaknya panggilan tak terjawab juga pesan masuk dari Ify, Pak Bagas, juga sahabat-sahabatnya. Kernyitan di dahinya nampak terlihat jelas kala merasa bingung kenapa mereka semua menelponnya dan mengirimnya pesan begitu banyak.
“Mungkinkah,” Seakan sadar saat ini dia tak berada di apartemennya dan entah berada di mana bersama Gabriel dan kemungkinan mereka mencarinya--meski tak yakin--Rio lantas menelpon Cakka untuk menjemputnya dan juga Gabriel agar mereka bisa pulang ke apartemennya maupun ke rumah Gabriel sebelum orang-orang itu menemukan mereka. Sungguh, dia masih belum merasa aman dengan tempatnya berada bersama Gabriel ini, anak buah ayahnya begitu banyak dan mereka tentu saja bisa menemukannya dan Gabriel secepatnya.
Namun niat awal untuk menghubungi Cakka urung karena ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal, “Ini nomor siapa? Apa mungkin Pak Bagas atau yang lain?” Meski ragu, Rio memutuskan untuk mengakat panggilan itu.
“Ha--”
“Enam puluh menit, hanya selama itu lo bisa menyelamatkan mereka. Telat satu menit maka lo akan kehilangan mereka semuanya, Ify, sahabat-sahabat lo, dan ayah kandung lo, Pak Bagas, lo akan kehilangan mereka. Jadi datang ke gedung tempat Veira mati dulu dan selamatkan mereka.”
Belum selesai Rio menyelesaikan ucapannya, seseorang yang menelponnya di seberang sana langsung melontarkan kalimat yang terasa membuat jantungnya berhenti berdetak seketika. Hatinya terasa sakit.
Udara malam yang terasa dingin menggelitik tubuhnya kini semakin terasa dingin dan membekukan saat mendengar kalimat itu, tak ada kehangatan yang ia rasakan. Ketakutan, ketakutan, dan ketakutan hanya itu yang dia rasakan saat ini membuatnya terasa sulit bernapas dan dadanya yang terasa sesak, namun meski begitu Rio tanpa sadar menahan napasnya mendengar kalimat selanjutnya.
“Ingat, telat satu menit maka mereka semua mati. Lo nggak mau mereka mati mengenaskan seperti Veira, bukan? Jadi datang dan jangan terlambat jika lo masih ingin melihat mereka. Ah, akan lebih baik jika lo mati maka mereka semua akan selamat, dan Tuan Alord Antonio juga tidak akan mengganggu mereka lagi untuk selamanya.”
Panggilan itu terputus bersamaan dengan Rio yang menjatuhkan handphonenya yang tanpa sadar membuat Gabriel terbangun karena mendengar suara berisik di sampingnya.
Gabriel mengerjap pelan kala pandangannya terasa kabur karena masih mengantuk, dia baru tertidur sebentar, tak lebih dari dua jam mungkin namun dia harus rela terbangun karena mendengar suara benda jatuh. Cowok itu mengucek matanya agar rasa kantuk cepat menghilang, “Rio ada apa?” tanyanya melihat siluet Rio yang sepertinya sudah terbangun dari tidurnya.
Gabriel menoleh ketika pandangannya sudah jelas hanya untuk melihat Rio yang menggigil hebat, bibir bergetar, wajah pucat pasi, dan tatapan mata yang kosong.
“Ya ampun Rio lo kenapa?!!”
Di raihnya bahu Rio agar berhadapan dengannya, wajah pucat Rio terlihat jelas di kedua matanya membuatnya panik dan juga khawatir. Cowok itu mengedarkan pandangannya berharap ada seseorang yang lewat dan menolong Rio. Namun lingkungan tempat persembunyiannya terasa sepi, hanya ada suara jangkrik yang mengisi keheningan malam. Wajar saja ini sudah tengah malam menjelang pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Till the Sun Rises
ActionDulu, Rio hanyalah seorang bocah 'Ice' yang teramat dingin namun mencoba untuk berubah menjadi seceria matahari terbit, hingga ia sadar bahwa matahari tak selamanya akan terbit dan ada saatnya matahari akan terbenam dalam titik lemahnya. Dan se...