IYNX
"Hey, bangun. Kita sudah sampai." Suaranya yang sedingin es membuat kedua mataku terbuka. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, berusaha menghalau rasa kantuk yang masih tersisa.
Aku menjulurkan leherku keluar jendela, mengamati sekitarku. Mobil yang kami tumpangi berhenti di sebuah halaman yang begitu luas. Pohon maple raksasa membuat tempat ini rindang dan terasa sejuk.
Di depan sana, berdiri sebuah rumah sederhana bercat kuning gading. Rumah bergaya Spanyol itu tampak tua, namun masih sangat terawat.
Aku menoleh ke arah Shade. Dia mematung, kedua tangannya mencengkeram erat roda kemudi. Pandangannya sayu, lurus ke depan, namun kosong. Emosinya tak terbaca, tersamarkan oleh ekspresinya yang datar. Rasa penasaranku mencuat, apa sekiranya yang tengah bergelut di benaknya.
Shade memang tak pernah mengatakannya padaku, namun entah mengapa aku seolah mengerti. Di dalam sana, jauh di dalam dirinya, ada sebuah tempat yang tak seorang pun dapat menjangkaunya. Yaitu tempat di mana Shade yang sebenarnya berdiam.
"Shade...." Aku menegurnya pelan.
Tak ada respons.
Aku mengguncang bahunya. "Shade...."
"Eh?!" Dia tersadar.
"Kau ... kenapa?"
Shade menggeleng cepat. Tangannya menarik tuas handbrake sembari berkata padaku, "Ayo, kita turun!"
Aku berjalan mengikuti Shade melewati pekarangan samping, menuju bagian belakang rumah. Di bagian belakang rumah ini terdapat sebuah kolam besar dengan jembatan kayu yang membentang di atasnya. Air kolamnya begitu jernih, menggodaku untuk menceburkan diri ke dalamnya.
"Wah, Shade, ini seperti rumah dalam dongeng." Aku berkomentar. Sekaligus bersiap-siap mendengar respons sarkastiknya.
Shade tersenyum simpul. "Imajinasimu itu benar-benar tidak penting," katanya sembari mengacak-acak rambutku.
Aku cemberut.
Aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku. "Kau membuat rambutku kusut," gerutuku.
Aku memelototinya dan dia membalasnya.
Kami beradu pandang.
Sesuatu dalam dadaku kembali bereaksi. Berdegup kencang tanpa mampu kukendalikan. Darahku berdesir.
"Shade!" Panggil sebuah suara asing yang membuat kami beralih pandang, menoleh untuk mencari-cari sumber suara tersebut.
Bulu kudukku meremang kala melihat semak-semak di tepian kolam bergerak-gerak. Aku mundur beberapa langkah, namun Shade menahanku. Dengan cekatan dia menyambar tanganku dan menggenggamnya.
Sesosok pria yang kuperkirakan berusia awal lima puluhan, bertubuh tegap, lengkap dengan pakaian berkebunnya muncul dari balik semak-semak. Pria itu berjalan ke arah kami, dia memegang sebuah gunting rumput di tangan kanannya.
Aku merapatkan diri pada Shade. "Dia ... dia ... tidak akan memotong leherku, bukan?"
Shade mendecakkan lidahnya. "Terus terang aku heran padamu."
"Heran?"
"Bisa-bisanya otakmu menyisakan ruang untuk memikirkan hal konyol semacam itu. Aku benar-benar tak habis pikir." Telunjuknya mengetuk dahiku berkali-kali.
"Shade!"
Melihatku kesal Shade malah tertawa. Tergelak lepas.
Aku terperangah. Shade yang kulihat saat ini, seperti bukan Shade.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wind Blows
Romance[DITERBITKAN OLEH HD PUBLISHER - 2017] Aku bertemu dengannya tepat di saat daun-daun mulai berguguran. Dia yang memiliki tatapan sedingin es. Dia yang bersikap acuh tak acuh. Lalu kami mulai bertengkar, kemudian berbaikan. Kami berbicara, bertukar...