SHADE
Jam digital di dasborku menunjukkan pukul sepuluh malam lewat. Sebenarnya selepas makan malam tadi aku ingin segera mengajak Iynx pulang, namun ibuku yang terlanjur menyukai Iynx ingin agar Iynx berlama-lama di sana. Aku bisa memakluminya. Sudah bukan rahasia lagi jika ibuku mengidamkan seorang anak perempuan.
Jalanan sepi, hanya ada lampu jalan yang setia menemani perjalanan pulangku. Aku mengemudikan mobilku dengan kecepatan lebih pelan daripada biasanya. Aku melakukannya bukan karena aku memiliki masalah dengan penglihatanku, namun karena aku memiliki alasan lain.
Iynx.
Gadis yang sejak kedatangannya di rumah membuatku tidak bisa tidur nyenyak. Suara riangnya saat bercengkerama dengan Light selalu mengusikku. Apalagi tingkah lakunya yang kelewat ceroboh, tak jarang seisi rumah dibuatnya panik. Diam-diam aku sering mendapatinya tersandung sudut lemari atau kaki kursi. Padahal semua benda itu sudah ditempatkan di sana sejak lama dan tak pernah berpindah tempat.
Hanya gadis ceroboh dan kikuk seperti Iynx-lah yang bisa seperti itu. Tersandung oleh benda yang sama dan di tempat yang sama berulang-ulang. Bahkan semalam dia terpeleset anak tangga yang selalu dilaluinya.
Benar-benar payah!
Aku menginjak pedal rem saat lampu lalu lintas di depan menyala merah. Dalam keremangan, aku meliriknya yang tengah tertidur pulas. Rambut pirang platinum panjangnya terurai bebas, menutupi sebagian wajahnya.
Dengan hati-hati aku menggerakkan jariku untuk menyingkirkan rambut di wajahnya. Dia terlihat sangat polos saat terlelap seperti ini. Begitu mengesankan. Aku menjentikkan telunjukku pada bulu matanya yang lentik. Dulu aku mengira bila dia mengenakan bulu mata palsu, tapi ternyata aku salah. Bulu matanya memang seperti itu. Panjang dan lentik.
Tanpa sadar, aku tersenyum.
Telunjukku bergeser turun, menyusuri pipinya yang sedikit berisi. Untuk seorang gadis berusia delapan belas tahun, wajahnya terbilang imut.
Aku melepas kopling dan menginjak pedal gas perlahan saat lampu merah berganti hijau. Sekitar sepuluh menit lagi kami akan tiba di rumah. Namun entah mengapa, aku ingin mengubah sepuluh menit yang tersisa menjadi sepuluh jam. Tak rela aksi membolos kami berakhir sebentar lagi.
Aku masih ingin bersamanya....
Tunggu! Ini salah! Tak seharusnya aku berpikiran seperti ini.
Pasti ada yang salah dengan otakku.
Sebagian besar lampu rumah telah dipadamkan ketika aku sampai. Aku mematikan mesin dan mengembus napas keras. Kusandarkan kepalaku pada roda kemudi, kemudian memiringkannya, mengamati Iynx yang masih tetap pada posisinya.
Napasnya pelan nan teratur. Kelopak matanya mengatup sempurna dan bibirnya sedikit terbuka.
Aku mengelus pipinya, kemudian menyapukan ibu jariku menyusuri bibir bawahnya....
Lembut.
Kira-kira bagaimana rasanya bila aku menyentuh bibir ini dengan bibirku?
Ketukan kecil pada kaca mobilku membuyarkan segalanya. Aku menarik tanganku dari wajahnya dan menoleh enggan. Aku sudah mengetahui siapa gerangan yang mengetuk itu. Telunjukku menekan tombol di pintu untuk menurunkan kaca mobilku.
Light memandangku sinis. Sisa-sisa kekesalan masih tampak di wajahnya. "Kau akan membangunkannya atau akan memandanginya hingga matahari terbit?" tanya Light yang terdengar seperti sebuah candaan yang dipaksakan.
"Aku akan membangunkannya," jawabku datar.
Terselip rasa tidak tega ketika hendak menyentuh bahunya. Tapi apa boleh buat. Tidak mungkin aku membiarkan Iynx tidur di sini hingga besok pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wind Blows
Romance[DITERBITKAN OLEH HD PUBLISHER - 2017] Aku bertemu dengannya tepat di saat daun-daun mulai berguguran. Dia yang memiliki tatapan sedingin es. Dia yang bersikap acuh tak acuh. Lalu kami mulai bertengkar, kemudian berbaikan. Kami berbicara, bertukar...