IYNX
Aku tak menyangka bila ternyata rasanya sesakit ini.
Kehadiran Nadia di sini bagaikan hantaman keras yang membanting tubuhku ke tanah, menyadarkanku bila sosok yang memelukku di sekolah siang tadi memang benar-benar bukan milikku.
Aku tak mau lagi mengingat seperti apa rasanya ketika berada dalam dekapnya. Aku akan menghapus rasa yang tertinggal di bibirku saat dia menciumku. Aku akan menganggap semua yang pernah terjadi di antara aku dan Shade hanyalah ilusi belaka.
"Hey, apa yang kau pikirkan?" Light menyentuh bahuku dan aku terjingkat. "Maaf. Aku lupa memberitahumu bila setiap malam Nadia kemari." Light berdehem. "Mellisa mengundangnya makan malam."
"Oh...."
Aku meletakkan pulpen yang kupegang di atas meja dan menjatuhkan punggungku pada sandaran kursi. "Terima kasih. Karena telah membawaku kemari sebelum aku menangis."
Light menutup semua buku yang terhampar di meja belajarnya, kemudian meraih masing-masing tanganku dan menyatukan dalam dekapannya. "Sudah kubilang lupakan dia."
Aku ingin, ingin sekali menghapus Shade dari ingatanku. Namun Shade bukanlah sesuatu yang bisa kuhapus dengan mudah meski aku begitu ingin menghapusnya.
Tanpa kusadari air mataku meleleh. Aku tidak ingin menangis, namun rupanya aku tidak cukup kuat untuk membendung air mataku.
Light melepaskan tanganku dan menepuk-nepuk bahunya sendiri. "Jika kau butuh tempat untuk menangis, aku dengan sukarela meminjamkan bahuku ini untukmu. Gratis."
Dengan cepat aku menyeka lelehan air mataku. "Light...."
"Sudah. Tidak usah sungkan." Light meraih kepalaku dan meletakkannya di bahunya. "Kapan pun kau ingin menangis, carilah aku, aku akan meminjamkan bahuku ini untukmu."
"Light...."
"Ya?"
"Why you are so kind to me?"
"Because I love you."
Aku diam.
"Tak seorang pun dapat mencegah perasaan ini, Iy. Jadi ... biarkan aku menyukaimu dengan caraku sendiri."
Aku memejamkan mataku, membiarkan pikiranku mencerna semua ini. Di saat aku menggigil oleh embusan angin dingin Shade, Light datang dengan cahayanya yang hangat. Menenangkan dan memelukku.
Aku tak bisa membalas perasaannya. Aku tak bisa menyukainya seperti dia menyukaiku. Tapi aku sangat membutuhkannya lebih dari sekadar sahabat. Aku membutuhkannya sebagai tempat untuk bersandar dan menangis.
"Kau membuat perasaanku semakin kacau," desahku frustasi.
Light terekekeh. "Sini, lihat aku!"
Aku menegakkan kepalaku yang terkulai dan membuka mataku.
Senyumnya menyambutku. Menghiburku. Sepasang mata cokelatnya menghangat saat bertemu pandang denganku.
Light menangkup wajahku dalam telapak tangannya. "Rasanya memang tidak adil ya, kita berdua sama-sama menyukai orang yang tidak menyukai kita. Aku menyukaimu, kau menyukai Shade, Shade entah menyukai siapa...."
"Shade menyukai—"
"Seseorang." Light menyambung kalimatku. "Mungkin."
Aku menggigit bibir bawahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wind Blows
Romantizm[DITERBITKAN OLEH HD PUBLISHER - 2017] Aku bertemu dengannya tepat di saat daun-daun mulai berguguran. Dia yang memiliki tatapan sedingin es. Dia yang bersikap acuh tak acuh. Lalu kami mulai bertengkar, kemudian berbaikan. Kami berbicara, bertukar...