SHADE
Mungkin duniaku memang ditakdirkan seperti ini.
Sunyi.
Di mana pun aku berada, ke mana pun aku melangkah, atau apa pun yang kulakukan, semuanya takkan mampu membebaskanku dari perasaan ini.
Aku memandangi bungkus rokokku yang isinya telah habis. Ya, dalam beberapa hari terakhir aku merokok terlalu banyak, mungkin dua hingga tiga kali lipat dari biasanya. Sampai-sampai tenggorokanku rasanya panas dan kering, seperti terbakar.
Dulu walau selalu sepi dan monoton aku tak pernah merasa sesendiri dan sebosan ini. Kali ini berbeda. Seakan-akan ada sesuatu yang direnggut paksa dari dadaku. Menyisakan luka abstrak. Luka yang tidak berdarah, namun rasanya teramat sakit.
Iynx menarikku ke dunianya. Dunia penuh emosi yang membuatku merasa hidup. Tapi kini dunia itu telah runtuh. Lenyap tak menyisakan apa-apa kecuali luka.
Bertengkar, tertawa, mengobrol. Dia adalah kebutuhan pokokku. Tanpanya aku seperti planet yang kehilangan porosnya.
Labil. Tidak stabil.
Sejak malam itu hubungan kami merenggang. Aku dan dia saling menjauh. Dia memintaku untuk kembali menjadi Shade yang dulu agar dia memiliki alasan untuk membenciku.
Ya. Itulah yang harus dilakukannya.
Menbenciku.
Namun aku masih menginginkannya. Hatiku berharap masih bisa memilikinya dalam hari-hariku. Tapi nyatanya tidak. Jika dulu dia tetap datang tiap kali aku menyuruhnya pergi, kini meski aku mengharapnya, dia takkan pernah datang. Dia ... benar-benar sudah pergi dariku.
Aku terusik, dia diam.
Aku berteriak, dia diam.
Aku diam, dia diam.
Aku meraih bungkus rokokku, meremasnya, lalu melemparnya ke tempat sampah.
Kulirik jam tanganku. Pukul tujuh malam lebih. Itu artinya semua pasti sudah berkumpul di dapur untuk makan malam. Kurasa aku harus segera bergabung. Perutku keroncongan. Hari ini belum secuil makanan pun yang masuk ke perutku.
Hampir saja aku tiba di dapur saat mendengar Iynx mengutarakan niatnya untuk keluar dari rumah ini. Nafsu makanku langsung sirna. Perutku yang tadinya lapar mendadak kenyang.
Tanpa sepengetahuanku dia telah membuat keputusannya sendiri.
Aku langsung kembali ke kamar. Malas mendengarkan Mellisa dan ayahku yang mencoba untuk mencegahnya.
Iynx, sebenarnya seberapa dalam aku telah melukaimu?
***
Aku terpaku.
Berdiri. Diam menatap pintu yang tertutup rapat di hadapanku.
Tenang. Seolah tak ada penghuni di baliknya.
Tanganku menekan handle pintunya. Pintu pun terbuka. Hatiku mengeluh. Kebiasaannya untuk tidak mengunci pintu merupakan salah satu dari banyak kecerobohannya.
Bagaimana dia akan hidup sendiri, sementara hal sepele seperti mengunci pintu kerap kali dilupakannya?
Hhh. Iynx, membayangkanmu hidup sendiri rasanya dunia di depanku jungkir balik. Aku benar-benar tidak dapat membayangkannya.
Seperti tidak menyadari kehadiranku, Iynx tetap sibuk dengan kegiatannya sendiri. Mondar-mandir. Mengambil pakaian dari lemarinya, melipatnya, kemudian memasukkannya dalam sebuah koper besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wind Blows
Romance[DITERBITKAN OLEH HD PUBLISHER - 2017] Aku bertemu dengannya tepat di saat daun-daun mulai berguguran. Dia yang memiliki tatapan sedingin es. Dia yang bersikap acuh tak acuh. Lalu kami mulai bertengkar, kemudian berbaikan. Kami berbicara, bertukar...