IYNX
Akhirnya aku pindah juga dari rumah Shade.
Awalnya aku memang merasa sekarat. Shade sudah seperti udara untukku, tanpa kehadirannya aku kesulitan untuk bernapas.
Namun pelan-pelan aku mulai membiasakan diri untuk menghirup udara lain. Udara baru di mana Shade tak pernah ada. Sesak, tapi aku terus berusaha. Aku harus bisa lepas dari bayang-bayang Shade.
Aku benar-benar ingin melepaskan diri dari pusaran anginnya.
Dan mengenai hubunganku dengan Shade ... aku rasa tak banyak yang berubah. Bedanya, aku sudah tak lagi tinggal serumah dengannya. Jadi apa saja yang dia lakukan di luar jam sekolah, aku sama sekali tidak mengetahuinya.
Aku mengaduk-aduk lokerku. Seingatku aku menaruhnya di sini, tapi kenapa tidak ada? Sudah beberapa hari aku mencarinya ke mana-mana, tapi tetap saja tidak ketemu. Atau mungkin ... tertinggal di rumah lama?
Ah, rasanya tidak mungkin. Tapi ada baiknya bila nanti aku kembali ke rumah lama dan mencarinya di kamarku.
Kedua sudut bibirku terangkat naik kala melihat kertas bertuliskan huruf A yang tersembul di antara buku paket biologiku. Itu adalah nilai yang kudapatkan bersama Shade dalam sebuah tugas kelompok.
Diam-diam aku merindukannya juga. Berdebat dan beradu mulut dengannya. Membuatnya kesal dan mendengar teriakannya. Aku juga rindu melihatnya tertawa lepas seperti dulu.
Hhh.
Masih bisakah aku melihatnya seperti itu?
Entahlah.
Langkahku yang ringan membawaku masuk ke dalam kelas yang pernah mempersatukanku dan Shade pada sebuah tugas kelompok. Benakku terusik saat ujung kakiku tersandung kusen pintu. Tanpa bisa kutahan lagi, tubuhku terjungkal. Dahiku pasti sudah membentur lantai jika saja tidak ada orang yang bersedia menahanku, dia melingkarkan lengannya mengelilingi perutku.
Aku menoleh. "Terima ka-" Kalimatku terputus saat mengetahui siapa gerangan yang telah menolongku.
Seorang laki-laki bertubuh jangkung dengan sorot matanya yang khas seketika membekukanku. Caranya menatapku masih tetap sama. Tak berubah.
"Shade...."
"Bahkan ketika kau sudah tak ada dalam hari-hariku, kau masih saja membuatku repot," desisnya.
Dadaku berdegup kencang. Selama beberapa detik aku seperti kehilangan kesadaranku. Aku ... terlampau gugup berada sedekat ini dengannya.
Tersadar, aku pun menegakkan badanku. Melepaskan diri darinya. "Maaf," ucapku.
"Sejak kau memutuskan keluar dari rumah, aku sudah tak bisa lagi menjagamu. Jadi kuharap kau bisa menjaga dirimu sendiri," ucapnya datar.
Shade duduk di kursinya dan aku duduk di sebelahnya.
Hatiku terenyuh saat mendapatinya tampak berbeda. Badannya agak kurus dan wajahnya layu. Terlihat jelas ada sesuatu yang berat membebani kedua pundaknya. Membuatnya tertekan.
"Ada apa?" tanyanya tiba-tiba.
Aku menyunggingkan seulas senyum dan menggelengkan kepalaku.
Shade menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah garis datar. Ekspresinya yang seperti ini menunjukkan bila dia sedang menahan kalimatnya.
Kedua mataku memanas. Bohong bila aku berkata tidak ingin memeluknya. Aku ... sangat ingin memeluknya dan membenamkan wajahku di dadanya, bergelung dalam dekap hangatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wind Blows
Romans[DITERBITKAN OLEH HD PUBLISHER - 2017] Aku bertemu dengannya tepat di saat daun-daun mulai berguguran. Dia yang memiliki tatapan sedingin es. Dia yang bersikap acuh tak acuh. Lalu kami mulai bertengkar, kemudian berbaikan. Kami berbicara, bertukar...