Bab 23

27 4 3
                                    

IYNX

Summer is here!

Aku menyusuri pasir putih di sepanjang Jones Beach. Menatap lurus ke depan, tempat sebuah mercusuar tua berdiri. Bangunan itu berdiri kokoh di atas batu karang. Bentuk bangunannya yang klasik menggambarkan seperti apa tempat ini di masa lampau.

Angin laut berembus kencang, menerbangkan helaian rambutku, berkibar membentuk siluet abstrak di bawah cahaya matahari sore. Sinar berwarna keemasan menaungi langkahku, menggiringku untuk menjauh dari gumpalan ombak yang sesekali membasuh kakiku.

Kusandarkan punggungku pada perahu usang yang tegeletak di tepi pantai. Di barat matahari kian merendah, mendekati kaki langit. Senyumku mengembang kala melihat segerombolan anak kecil lewat di depanku, berlarian di atas pasir. Kulit mereka memerah karena terlalu lama terpapar di bawah sinar matahari. Mereka tak menghiraukannya. Mereka berkejaran. Girang. Menikmati masa kanak-kanak yang takkan lagi pernah ditemui saat mereka dewasa kelak.

Sejenak aku berangan ingin kembali, pada masa di mana kepolosan masih menjadi sifat dominanku. Di mana aku selalu memiliki senyum yang sama setiap harinya. Tapi angan tinggalah angan. Karena aku tak dapat membalikkan pasir waktu.

Dari kejauhan, tampak siluet berjalan menyusuri garis pantai. Semakin lama semakin mendekat. Hingga pada akhirnya siluet itu menampakkan wujud aslinya, tepat di saat aku menyadari siapa sosok yang kini tengah berdiri di hadapanku.

Sosok familier yang menjadi bagian dari senyum serta air mataku. Dadaku berdegup kencang kala sepasang matanya menatapku penuh harap.

Tersenyum padaku, dia membuka suaranya, "Apa kabar, Iynx?"

Kuremas tepian sundress-ku, kemudian menunduk. Ada sesuatu yang menggelitik halus perutku ketika mendapati ujung ibu jari kakinya nyaris saja bersentuhan dengan ibu jari kakiku. Mendongakkan kepala, aku dipertemukan dengan wajahnya. Sebagian dari rambutnya berserakan di dahi karena tertiup angin. Kali ini dia tidak mengenakan kacamata.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku.

Shade mengulum senyum yang membuatku meleleh. Senyumnya kali ini sangat berbeda. Ini bukan senyum yang pernah kulihat. Ini seperti sebuah kelegaan, senyum yang berasal dari hati.

"Aku ingin bertemu denganmu," jawabnya santai.

Aku menelan ludah dan menghela napas. Aku harus tenang, apa pun yang akan dibicarakannya, aku tak boleh menganggapnya serius. "Oke. Kita sekarang sudah bertemu, apa yang akan kau lakukan?"

Ibu jari dan telunjuknya bergerak meraih daguku. Tubuhku bergetar oleh sentuhannya, membangkitkan kerinduan yang selama ini kutepis. Jiwaku pun panik oleh reaksi ragaku.

Tidak! Aku tidak boleh membiarkannya.

Kusingkirkan tangannya dengan sopan.

Gurat kekecewaan terukir jelas di wajahnya. Tapi sebisa mungkin aku tak mengacuhkannya. Walau dalam hati aku bertanya-tanya, apa sekiranya yang tengah dirasakannya?

"Kudengar kau menerima lamaran Light," ujarnya setengah hati.

Aku mengangkat tanganku, menunjukkan cincin pertunanganku.

Dia menggeleng berulang kali. "Kenapa kau menerimanya?"

"Apa ini penting bagimu?"

"Tentu saja," ketusnya.

"Shade, bisakah kau berhenti bersikap seperti ini?"

Shade memegang bahuku. "Maaf...."

"Maaf? Kau sudah terlalu sering minta maaf padaku, Shade," sinisku. "Bagaimana jika kali ini aku tidak mau memaafkanmu?"

The Wind BlowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang