Bab 19

56 5 2
                                    

IYNX

Tak selamanya perpisahan berakhir buruk. Bagiku perpisahan adalah sebuah gerbang antara masa lalu dan masa depan. Aku sudah meninggalkan semuanya di belakang dan takkan menoleh lagi.

Iynx yang lama sudah mati.

Sejak aku dan Shade sama-sama berucap selamat tinggal, sejak saat itulah hubungan kami berubah menjadi orang asing. Kukubur semua hal tentang Iynx dan Shade. Berharap waktu dapat melenyapkan kenangan itu.

Setelah keluar dari rumah sakit, perlahan aku menata kembali hidupku yang porak-poranda. Sedikit demi sedikit aku mulai menemukan diriku yang dulu.

Aku memiliki Light. Cahaya yang menerangi setiap langkahku. Cahaya yang menarikku keluar dari jurang yang kelam. Cahaya yang terus menggenggam tanganku melewati semua kekalutan ini.

Kini masa sekolahku telah usai, aku lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Bahkan nyaris menyamai Shade yang notabene merupakan murid terpandai di sekolah kami. Meski begitu aku tetap tak dapat menyamainya, Shade itu terlalu genius untuk kulawan.

Ini merupakan malam terakhirku di Brooklyn. Besok aku harus sudah terbang ke Cambridge, Wolfson College telah menungguku dengan berbagai agenda selama musim panas.

Aku menebar pandangan ke sekelilingku. Apartemen yang kutinggali saat ini sudah rapi, seluruh barangku telah kukemas dalam koper. Sedangkan untuk barang-barang elektronik dan perabotan lainnya akan diurus oleh Light.

"Aku tak menyangka kalau kau benar-benar akan pergi sejauh yang kau bisa," gumam Light.

Aku mengambil ponsel yang tergeletak di meja makan dan menyelipkannya ke dalam saku celanaku. "Sering-seringlah mengunjungiku," balasku seraya menggaet tangannya.

"Tentu." Lalu Light menghela napas dalam-dalam. "Sayang sekali kita harus berpisah."

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Menggodanya. "Mau pindah ke Wolfson College bersamaku?"

"Tidak. Tidak. Masuk ke Columbia University adalah impianku sejak dulu."

Aku terkekeh. "Sayang sekali...."

Berat rasanya membayangkan jika kami akan berpisah. Beberapa bulan terakhir aku memiliki Light hampir di setiap detikku. Dia kekasihku, juga sahabatku. Kami berdua menikmati setiap detik yang kami lalui bersama-sama.

Dengannya hidupku benar-benar terasa normal.

Tidak ada rasa sakit. Tidak ada air mata.

Aku tertawa. Aku bahagia.

"Ayo, sudah saatnya aku berpamitan dengan Mellisa, Lucas, Nadia, dan ... Shade." Walau Shade sudah bukan lagi bagian dari hidupku, mengucapkan namanya tetap saja menggores hatiku. Memang tidak sakit, hanya sedikit ... membuatku sedih.

Light menepuk-nepuk kepalaku. "Entah mengapa aku merasa kau menjadi dewasa dalam sekejap," gumamnya.

Aku cemberut. "Apa maksudmu?"

"Entahlah. Sejak kejadian itu aku merasa jika kau banyak berubah. Kau ... jauh lebih tenang."

Aku menunduk, lalu meraba perutku. "Itu adalah sebuah kesalahan yang menjadi pelajaran berharga. Aku takkan mengulangi kebodohan itu lagi."

"Jadi sekarang kau sudah dapat berpikir jernih?" Light menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum mengejekku.

Aku meninju main-main dadanya.

"Lalu, bagaimana dengan kita?" tanyanya.

"Kita...." Aku bergumam ragu.

"Suatu hari nanti, akankah kau memadangku sebagai orang yang paling berharga?"

The Wind BlowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang