BAB 17

47 2 1
                                    

IYNX

Sudah satu minggu ini aku terus-menerus mual. Berulang kali Light bertanya padaku apa yang sebenarnya terjadi, namun aku hanya bisa menggelengkan kepalaku sebagai jawaban.

Aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Atau lebih tepatnya aku tak mau tahu yang sebenarnya terjadi padaku.

Aku ... takut!

"Lebih baik kau pergi ke dokter, Iy," usulnya. "Aku akan menemanimu."

"Tidak perlu," tolakku. "Istirahat dua atau tiga hari lagi aku pasti akan sembuh."

Light mendesah. Matanya menyipit penuh selidik. Aku yakin di kepalanya terdapat setumpuk pertanyaan yang urung untuk ditanyakan padaku.

"Aku tahu kau ingin bertanya sesuatu padaku. Tanyakan saja," kataku.

Light mengambil kedua tanganku dan menyatukannya dalam genggamannya. Hangat. Rasa hangatnya merambat hingga ke dadaku, membuatku merasa tenang. "Kau hamil?" tanyanya langsung, tanpa repot berbasa-basi.

Titik-titik keringat dingin bermunculan di dahiku. Rasa hangat yang sempat kurasakan tadi berubah menjadi dingin. Aku ... membeku seperti es. Mulutku terbungkam, tubuhku terpaku. Hanya jantungkulah satu-satunya organ milikku yang masih bergerak, berdetak cepat seakan mau melompat keluar.

Light mengguncang-guncangkan tubuhku. "Iynx, katakan sesuatu."

Tubuhku merosot, jatuh terduduk di atas lantai. Aku mengamati buku-buku jariku yang kian memutih, mereka pun gemetaran.

Light jongkok di hadapanku dan meraihku ke dalam pelukannya. Sepasang tangannya mendekapku erat, seakan dia mampu melindungiku dari hujan dan badai.

"Iynx..." desisnya. "Tidak apa-apa. Kumohon jangan seperti ini. Katakan sesuatu, please...." Suaranya terdengar parau.

"Aku tak tahu harus berkata apa, Light," balasku tercekat.

"Jadi benar? Kau...?"

"Aku tak tahu!" teriakku. Aku tak dapat menahan emosiku.

"Sstt. Tenanglah, Iy." Light mencium keningku. "Apa pun yang terjadi padamu, perasaanku akan tetap sama. Aku tidak akan berubah."

Aku menangis histeris di dadanya. Menumpahkan semua emosiku yang tak terbendung. "Aku takut, Light. Jika ini benar-benar terjadi...." Kalimatku terputus.

"Jangan takut. Kau memilikiku," balasnya tenang.

"Tapi ... tapi ... aku...."

Light menarik napas dalam-dalam. "Tenanglah dulu, jangan berpikiran terlalu banyak. Kita harus pergi ke klinik kandungan untuk memastikannya. Oke?"

"Tidak!"

"Bagaimana dengan tes kehamilan? Jadi kau bisa mengeceknya sendiri."

"Oke," sahutku.

***

"Iynx, apa yang kau lakukan di dalam? Ini sudah hampir satu jam." Suara cemas Light membuatku semakin tertusuk. Rasa bersalah dan ketakutanku membuncah.

Apa yang harus kulakukan?

"Iynx...." Light memanggilku lagi. Tangannya menggedor-gedor pintu.

"Ya," sahutku lirih.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya, masih dengan nada cemas.

"Ya."

Terdengar sebuah helaan napas panjang dari balik pintu. "Aku akan menunggumu di ruang tamu."

Dengan cepat aku membuka pintu kamar mandi dan menyambar begitu saja tangan Light. "Maukah kau menungguku? Sebentar saja...." Lalu aku pun menangis.

"Kau bilang kamar mandi bukanlah tempat yang nyaman untuk menangis? Tapi kenapa kau menangis di dalam situ?"

The Wind BlowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang