Bab 21

12 2 0
                                    

SHADE

Hari ini aku tiba di kantor lebih awal daripada biasanya, sebisa mungkin aku menghindari adu mulut dengan Nadia. Belakangan ini kami berdua sering bertengkar. Nadia terus-menerus protes, dia menilai sikapku padanya begitu dingin.

Bukankah aku memang seperti itu?

Aku menyulut rokokku dan berjalan menuju jendela kemudian menarik tirainya. Matahari mulai merangkak naik menuju puncak cakrawala, bersiap untuk menyinari tiap sudut kota ini. Hampir setiap harinya aku menyaksikan kejadian ini, berharap gelapnya jiwaku akan sedikit mendapatkan cahaya. Namun nyatanya gelap dalam diriku tak sedikit pun bergeser. Karena matahariku ... berada di tempat yang jauh, di suatu tempat yang tak terjangkau olehku.

Sebuah ketukan menginterupsi benakku. Aku buru-buru mematikan rokokku dan duduk di kursiku. Dalam hati berharap jika itu bukanlah Nadia, aku sedang tidak ingin berurusan dengannya.

"Masuk," sahutku sembari menyalakan laptop.

Pintu terbuka dan aku mendengus. Meski itu bukanlah orang yang ingin kutemui, setidaknya itu bukan Nadia.

Light melenggang masuk dengan sepucuk undangan di tangannya, wajahnya begitu sumringah. Aku menyipitkan mataku, mengira-ngira undangan apa yang tengah dibawanya itu. Jangan-jangan ... undangan pernikahan?

Sontak keringat dingin menyeruak melalui pori-poriku.

Jika dia menikah itu tandanya dia akan menikah dengan....

Aku mengepalkan tanganku. Jangan sampai itu terjadi!

"Ada perlu apa kau kemari sepagi ini?" tanyaku, to the point.

Light menarik kursi dan duduk di hadapanku, kemudian dia mengipas-ngipaskan undangan yang dibawanya. "Kau sudah mendapatkannya?"

"Apa itu?"

"Undangan reuni."

"Oh...." Lalu aku memeriksa dokumen yang bertumpuk di bagian kanan meja kerjaku. Aku menemukannya terselip di antara berkas-berkas yang belum sempat kusentuh. Sejak kapan benda ini ada di sini?

Kubuka undangan itu dan membacanya sekilas.

"Bagaimana, apa kau akan datang?" tanya Light. Antusias.

"Aku tidak datang," ketusku, kemudian menaruhnya begitu saja di atas meja.

Ekspresi Light berubah, tampaknya dia keberatan dengan keputusanku. "Kau ini benar-benar tidak berubah ya." Dia menyeringai padaku.

Aku membalas seringainya. "Terserah apa katamu."

"Kau ini merupakan alumni dengan nilai terbaik di angkatan kita dulu, tapi dengan sikapmu yang seperti ini, siapa pun akan meragukanmu. Ingat, Shade, prestasi seseorang tak hanya dinilai dari selembar kertas ijazah, tapi juga sikap." Light terlihat kesal.

Aku menarik sebatang rokok dan menyulutnya.

Light benar. Namun dia tidak benar-benar mengerti apa yang aku rasakan.

Sekolah....

Semua kenangan itu tetap dan akan selalu ada di sana. Karena semua itu berakhir sepuluh tahun lalu, hidupku pun terasa seperti berhenti. Dalam ingatanku aku masih melihatnya sebagai gadis berusia delapan belas tahun.

Kembali ke sekolah hanya akan mengorek kembali luka lamaku. Sebuah luka yang takkan pernah sembuh.

"Aku akan datang bersama Iynx," ujarnya bangga.

Mendengar nama itu disebut sesuatu dalam dadaku berdenyut-denyut. Ngilu. Walau sudah sepuluh tahun, nama itu masih saja menjadi bagian terpenting dalam hidupku.

The Wind BlowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang