Bab 14

83 6 2
                                    

IYNX

Kami duduk. Berdampingan menanti subway yang akan membawa kami pulang ke Brooklyn.

"Kita berpisah di sini saja," ujar Shade.

"Um, oke."

"Kalau kita pulang bersama-sama nanti akan ketahuan. Jadi lebih baik kita pulang sendiri-sendiri."

"Oh...."

"Tak apa kan, jika kita harus berpisah di sini?" tanyanya.

Aku tersenyum padanya. Menatap garis putih samar di pelipisnya. "Yep! Aku sudah biasa bepergian seorang diri."

Shade menangkup wajahku dengan sebelah tangannya. "Hati-hati. Kabari aku jika sudah sampai."

Aku mengangguk.

Tak berselang lama subway yang kutunggu pun tiba.

"Aku pulang dulu," kataku pada Shade.

Shade mengangguk. "Terima kasih untuk hari ini. Dan ... maaf."

Terima kasih?

Maaf?

Aku tak menjawab. Kulambaikan tanganku padanya dan berbalik. Meninggalkannya.

Berpisah dengan Shade selalu seperti ini rasanya. Sukar dan perih. Tapi ... memang apalagi yang bisa kulakukan?

Tak ada yang bisa kulakukan selain mengikis rasa cintaku padanya.

Sakit?

Tentu saja.

Andai mengusirnya dari hatiku semudah saat mempersilakannya masuk, aku pasti tidak akan menderita seperti ini.

***

Land Rover milik Light terparkir di depan gedung apartemenku saat aku tiba. Dia bersandar di bagian belakang mobilnya. Kepalanya tertunduk menatap serius layar ponselnya.

"Light?" panggilku dari kejauhan.

Dia mengangkat kepalanya. "Iynx...." Lalu dia berlarian kecil ke arahku. "You're here."

"I am."

"Aku meneleponmu berkali-kali, tapi...."

"Ponselku kehabisan baterai," potongku cepat.

Light memiringkan kepalanya kemudian menyipit. "Oh, oke. Yang penting kau sudah di sini." Lalu dia menyelipkan ponselnya ke saku celananya.

Aku mengangguk pelan.

Light ... terkadang perasaannya padaku membuatku takut. Aku takut dia akan merasakan apa yang kurasakan. Menyukai seseorang yang tidak menyukai kita rasanya menyakitkan.

Kalau sampai Light tersakiti olehku, aku takkan tahu bagaimana aku akan memaafkan diriku sendiri.

"Kau sudah makan?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Mau makan malam?"

"Tentu saja. Aku sangat kelaparan." Aku mencoba untuk bersikap wajar. Sejujurnya meski belum makan malam aku sama sekali tidak merasa lapar.

"Kalau begitu kau yang mentraktirku," katanya.

"Okay!"

Aku dan Light memutuskan untuk makan di sebuah kafe yang tak jauh dari apartemenku. Tempat ini selalu ramai. Mayoritas pengunjungnya adalah anak sekolah seperti kami. Mereka berkumpul, entah sekadar untuk menghabiskan waktu luang atau mengerjakan tugas. Ada pula yang datang hanya untuk bermain biliar—di tengah ruangan ada sebuah meja biliar yang tak pernah sepi pengunjung.

The Wind BlowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang