IYNX
Presentasi kami mengenai cacing planaria di kelas biologi berjalan dengan lancar. Sukses. Aku memang sempat menemui kesulitan saat bekerja sama dengan Shade, namun semua itu terbayar lunas oleh apresisasi yang diberikan oleh Mr. Gross maupun teman-teman sekelas kami.
"Lihat, kita adalah partner yang baik, bukan?" Aku menyikut lengan Shade saat kami berjalan untuk kembali ke tempat duduk kami masing-masing.
"Hm," responsnya acuh tak acuh. Tidak ada raut bahagia maupun kepuasan di wajah Shade. Datar-datar saja.
Kini giliran kelompok lima mempresentasikan hasil penelitiannya, otomatis semua mata tertuju ke depan. Diam-diam aku melirik ke arah Shade yang duduk di sisi kananku.
Kepalanya setengah tertunduk seakan tengah membaca buku di hadapannya, padahal sebenarnya dia sama sekali tidak membaca buku tersebut. Aku tahu itu. Shade hanya sedang bosan, tapi kali ini sepertinya berbeda. Kelihatannya ada sesuatu yang membebani pikirannya.
Kira-kira hal apa yang tengah berkecamuk di kepala geniusnya?
Aku merobek selembar kertas dari bukuku dan meremasnya, kemudian melemparkannya ke arah Shade. Lemparanku mengenai bahunya. Shade menoleh dan langsung menatapku dengan tatapan sedingin es. Menghunusku. Membuat sekujur tubuhku menggigil.
"Ada apa?" tanyanya mendahuluiku.
"Baru saja aku akan menanyakan pertanyaan yang sama padamu."
"Lebih baik kau diam saja karena aku sedang tidak ingin mendengar suaramu."
Terkejut oleh responsnya, aku pun mengurungkan niatku untuk bertanya lebih lanjut.
Aku bertopang dagu dan memfokuskan perhatianku ke depan, di mana kelompok lima sedang mempresentasikan mengenai amoeba. Tapi terus terang saja pikiranku sedang berada di tempat lain yang sama sekali tak berkaitan dengan hewan bersel satu tersebut.
Berbagai prasangka berkecamuk di dalam kepalaku. Mulai dari yang paling positif hingga yang paling negatif. Alhasil, aku sama sekali tak tahu apa yang kelompok lain presentasikan di depan sana.
Di kepalaku hanya terngiang sebuah pertanyaan; Ada apa dengannya?
Bel yang menandakan berakhirnya kelas berbunyi. Aku membereskan bukuku dan memasukkannya ke dalam tas. Saat aku menoleh ke arahnya, tempat duduknya telah kosong.
Shade sudah pergi.
Aku buru-buru beranjak meninggalkan kelas. Mengejarnya. Namun Shade terlanjur menghilang.
Sudahlah, mungkin Shade sedang tak ingin melihatku.
Dengan gontai aku menyusuri lorong, menuju ke kafetaria. Sesampainya di sana, aku mengambil menu makan siangku dan menghampiri Light, Beth, Greta, dan Leo yang tengah berbincang santai.
Light menarik kursi untukku dan mempersilakanku duduk.
"Thanks," ucapku.
"Anytime," balasnya yang dibarengi dengan seulas senyum.
"Eh, bagaimana rasanya menjadi partner dari laki-laki berdarah dingin seperti Shade?" Beth menyikut lenganku.
Aku menaikkan kedua bahuku. Kemudian menggigit apelku.
"Apa artinya itu? Baik atau buruk?" tuntut Beth lagi.
"Kau benar-benar ingin tahu?"
Beth mengangguk antusias.
Aku menghela napas. "Try to have a conversation with him. Maybe."
"Hell, no!"
Aku terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wind Blows
Romance[DITERBITKAN OLEH HD PUBLISHER - 2017] Aku bertemu dengannya tepat di saat daun-daun mulai berguguran. Dia yang memiliki tatapan sedingin es. Dia yang bersikap acuh tak acuh. Lalu kami mulai bertengkar, kemudian berbaikan. Kami berbicara, bertukar...