[ ELSA ]

2K 273 147
                                    

Keajaiban..

Ibu mengatakan tentang apa itu, keajaiban.

Keajaiban hampir sama dengan kekuatan cinta, membuat segalanya menjadi hidup.

Dapat mengubah ulat paling jelek sekali pun, menjadi kupu-kupu yang paling indah.

Dapat mengubah dunia menjadi tidak gelap, menyedihkan atau menyakitkan.

Tapi nyatanya cinta saja tidak cukup kuat untuk menghentikan ibumu dari kematian.

Dan juga tidak bisa memberimu Ayah yang tidak benar-benar bisa kau miliki.

Lalu semua meninggalkanmu, sendirian di dunia ini.

Tidak ada lagi cinta.

( Joey Hermosa - Suddenly it's Magic )

*.*.*.*

Elsa menatap nanar batu nisan di depannya. Sudah dua tahun berlalu. Tapi hatinya masih saja tidak bisa menerima kenyataan. Bahwa nama yang tertulis di batu nisan ini adalah nama ibunya.

Bahkan sudah dua tahun berlalu, air matanya masih saja terus mengalir ketika ia dipaksa harus menerima kenyataan paling pahit dalam hidupnya.

Ikhlas

Semua orang memintanya untuk ikhlas, dan menerima semuanya dengan dada yang lapang. Mulutnya mengatakan bahwa ia sudah ikhlas, tapi hati kecil yang paling dalam sangat sulit menerima semua itu. Entahlah.

Bahkan ucapan yang mengatakan ibunya tidak akan tenang jika ia terus meratapi kepergian ibunya pun, tidak berpengaruh apa-apa untuk gadis itu. Ia tahu semua ke tidak terimaannya akan mempersulit jalan ibunya di sana. Tapi sekuat apa pun ia yakin, bahwa ia bisa menerima semuanya, meskipun tidak bisa dan tidak sanggup.

"Nangis lagi, Neng?"

Elsa menyeka air mata dengan punggung telapak tangannya. "Eh, iya Pak, nggak tahu nih air matanya masih aja keluar."

"Kasian ibunya, kalau ditangisi terus sama Eneng."

Elsa bangun dari duduknya dan mengulurkan tangan untuk menyalami tangan Pak Atsmo – penjaga pemakaman, yang sudah ia kenal semenjak kepergian ibunya.

Elsa hanya bisa menundukkan kepala, ini bukan pertama atau dua kalinya Pak Atsmo berbicara demikian padanya. Hampir setiap Elsa datang ziarah ke makam ibunya.

Seperti saat hari pertama ibunya di makamkan di tempat pemakaman ini, Pak Atsmo merasa iba pada Elsa. Selain tidak banyak yang ikut mengantar sang ibu ke pemakaman, gadis ini pun hanya menangis seorang diri. Hingga satu persatu pelayat mulai bepergian, Elsa masih bertahan. Benar-benar bertahan, sampai matahari terbenam.

Saat itu, Pak Atsmo menghampiri Elsa dan menyuruhnya untuk pulang. Selain karena hari sudah mulai gelap, Pak Atsmo tidak tega melihat Elsa meratapi sendiri kepergian ibunya.

Nasihat demi nasihat Pak Atsmo lontarkan agar gadis itu mengerti dan mau menerima, tapi sepertinya hingga saat ini Elsa masih belum mau paham dan mengerti.

"Mending Eneng banyak mendoakan Ibu Eneng, biar Almarhumah bisa tenang di sana."

Elsa lagi-lagi hanya mengangguk patuh. Setiap orang menasehatinya seperti itu, Elsa menuruti, tentu saja dia akan memberikan doa terbaik untuk ibunya, tapi nyatanya ia masih saja, tidak bisa merelakan.

"Sudah sore, lebih baik Eneng pulang, lagian sudah mau hujan."

Elsa menghela napas, meskipun sebenarnya ia masih enggan beranjak dari tempatnya. Tapi ia juga tidak membantah dengan ucapan Pak Atsmo. "Ibu masih buka Pak?"

"Udah tutup atuh Neng jam segini mah."

Elsa memberi jawaban dengan senyum kecil.

Terlalu sering pergi ke pemakaman dan bertemu dengan Pak Atsmo. Membuat Elsa dan Pak Atsmo sering mengobrol ringan. Pak Atsmo mempunyai seorang istri yang membuka warung kecil tak jauh dari TPU. Elsa juga sering berkunjung ke warung Bu Ipah — Istri Pak Atsmo.  Hanya warung kopi, yang menjual gorengan, kopi, teh, mie rebus, dan lain-lain. Yang kadang saat sore seperti ini sudah tutup.

"Ya sudah Pak, kalau begitu Elsa permisi dulu." Pamitnya, namun baru saja ia melangkahkan kaki panggilan Pak Atsmo menghentikan langkahnya.

"Jangan dijadikan beban, sedih boleh malah wajar. Bukan juga harus dilupakan karena bagaimana pun beliau Ibu kandung Eneng. Tapi sekali lagi harus ikhlas Neng, biar Eneng bisa lega begitu pun Almarhumah Ibu Eneng."

Elsa mengangguk dan menundukkan kepala pamit, benar-benar pamit.

Bukan keinginan Elsa tidak bisa menerima kepergiaan ibunya. Bukan. Ia ingin menuruti semua ucapan orang-orang yang memintanya untuk ikhlas. Tapi kehidupannya yang sendiri, memaksanya untuk kembali lagi dan lagi mengingat ibunya.

Selama ini hanya ibunya seorang yang ia miliki. Setelah ibunya pergi, ia tidak tahu harus bertumpu pada siapa? Dia merasa kesepian. Sendiri.

Elsa menyandarkan punggungnya pada kursi mobil, lalu memejamkan mata. Air matanya kembali keluar. Dadanya masih saja terasa sakit dan sesak, setiap kali melihat nama yang terukir pada batu nisan yang baru saja ia lihat. Bahkan ia masih tak percaya kalau di dalam gundukan tanah itu ada raga ibunya.

Ikhlas, harus ikhlas, harus ikhlas, harus ikh...

************************************
TBC
Vote? Comment?


Bagi newbie atau newreaders atau yang baru mulai baca cerita ini..

Tetap kasih VOTE dan KOMENnya ya 😃

Kita harus saling menghargai.. ok 👍
Terimakasih 😘
Love,
Deer_Fairis

Suddenly In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang