4. Tembok Pembatas

575 141 35
                                    

  Alvin

"Bang, menurut lo, Kirana gimana anaknya?"

Gue sedikit menengok ke belakang begitu mendengar pertanyaan Alia, sekarang motor gue lagi berhenti karena lampu merah.

"Bang, ih!"

"Apaan sih?" gue melajukan lagi motor gue karena traffic light sudah kembali berwarna hijau.

"Menurut lo Kirana gimana?"

"Nggak gimana-gimana," jawab gue santai.

"Gue serius."

"Iya, gue juga."

"Ih, nggak asik lo nyebelin."

Gue berdecak, dan nggak menanggapi lagi Alia.

Begitu sampai di pelataran parkiran sekolah, dengan mulus memarkirkan motor gue. Alia langsung turun dan melepas helmnya.
"Temen gue suka sama lo."

Gue menghembuskan napas. "Ya terus?"

"Ya respon lo apa, abang gue tersayang." Ngasih helmnya ke gue.

Gue menerima helm Alia. "Ya udah, terserah dia mau suka sama gue kek, nggak kek, bukan urusan gue lah," jawab gue santai.

"Ih, gitu doang? Ngeselin lo emang, pantes jomlo." Cibirnya

Gue memilih tidak menanggapi, nggak lucu kan kalau gue debat sama Alia di parkiran hanya karena tentang temannya yang suka sama gue. Gue menghargai, sumpah. Tapi gue bisa apa? Masa iya gue harus kasih dia award karena udah suka sama gue.

Pandangan gue berpindah begitu Aden dan Elsa sudah jalan beriringan menuju koridor, begitu juga gue dan Alia.

"Wih Den, udah gede ya elo sekarang."

"Kemana aja lo, makin ganteng ya gue." Alia memukul bahu Aden.

Elsa mempercepat langkahnya dan meninggalkan kami bertiga tanpa ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Alia terlihat sinis begitu Elsa melewatinya, dan kembali normal saat mengobrol dengan Aden.

"Kirana!" teriak Alia, dan melambaikan tangan pada temannya yang bernama Kirana itu. "Gue duluan ya, Bang itu Kirana."

"Udah tahu."

"Lo bener-bener Bang, bakalan jadi jomlo akut kalau sikap lo kayak gitu terus."

"Kayak lo nggak jomlo aja." Celetuk gue "— Anjirrr... Alia!!!" Gue meringis karena merasakan tulang kering gue sakit setelah ditendang tuh bocah, baru akan membalas, Alia udah kabur dan memeletkan lidahnya.

Aden yang berdiri disebelah gue, menepuk-nepuk bahu gue. "Sabar Bang, sakit?"

"Menurut lo?"

Aden tertawa, "Eh, betewe kemaren gimana? Sukses?"

Gue mengernyit menatap Aden, "Lo kemaren sengaja?"

Dan dia mengangguk dengan polosnya, gue langsung menoyor kepala Aden. "Sialan lo, kalau gue nggak sabar ngadepin tuh Elsa, nggak tau deh gimana jadinya." Rutuk gue

Aden tertawa. "Kalau nggak gitu, lo nggak bakalan bisa akur sama kak Elsa."

"Dasar otak lo, licik." Ledek gue

"Cerdik kali Bang, bukan licik."

"Apa aja deh bahasa lo."

Tapi kalau dipikir-pikir benar juga kata Aden, kalau nggak kayak gitu mana bisa gue nganter Elsa pulang. Ya, walau tanggapannya masih sinis. Tapi kan lambat laun bisa jadi akan ada perubahan.

Suddenly In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang