18. Pelarian

268 27 17
                                    

  Elsa

9 Tahun lalu

"Kamu ngapain bawa dia kesini, Na?" Aku hanya diam menatap perseteruan antara Mama dan Pria dewasa ini.

"Mas, dia anak kamu..."

Pria itu memegang kedua bahu Mama.  "Kamu bilang mau gugurin, Na?" ucapnya pelan, hampir berbisik.

"Mas, aku gak mungkin gugurin anakku sendiri. Aku gak segila itu Mas."

Pria itu melirikku sekilas. "Dia benar anak kita?"

"Mas, kamu pikir aku semurahan itu?"

"Gak, Na. Bukan gitu. Cuma ini udah lama, Na. Dan kamu baru muncul lagi sekarang dengan anak, yang kamu bilang kalau dia anak kita, ini terlalu mendadak, Kharina."

"Aku gak minta Mas untuk nanggung semua, aku cuma mau Elsa sah di mata negara, dia mau melanjutkan sekolahnya Mas, dan dia butuh surat-surat. Hanya itu Mas..."

*.*.*.*

"Mamaa..." Aku mengusap batu nisan yang ada di depanku.

"Mamaa..."

Entah sudah berapa kali aku memanggil Mama, aku berharap dari puluhan panggilanku ada yang dijawab oleh Mama. Tapi sampai sekarang belum ada.

Yang terdengar hanyalah suara tangis dari seorang wanita, tak jauh dari tempat aku duduk. Dia menangisi keluarganya yang baru saja pergi. Dan hanya ada hembusan angin yang sesekali membuat beberapa helai rambutku beterbangan.

Aku butuh Mama sekarang, aku butuh pelukan Mama.

Aku kangen Mama...

Luka yang sudah lama mengering kini kembali terbuka, bahkan jadi lebih menyakitkan dari sebelumnya.

Seperti ditusuk dan dicabik.

Dadaku terasa sesak, seperti sesuatu sudah menghantamnya. Sakit.

"...Elsa, Ayah kamu mana?..."

"...Elsa gak punya ayah... Elsa gak punya Ayah... Hahaha gak punya Ayah..."

"...Kamu jauh-jauh sekolah ke Jakarta, malah bawa petaka... Mau taruh dimana muka papi kamu Kharina?..."

Aku memeluk lututku, tak peduli dengan tatapan peziarah lain yang sedang memperhatikanku. Aku tak peduli. Aku tau mereka menatapku iba. Aku sudah biasa dikasihani.

Karena aku tau, aku terlahir untuk dicaci dan dikasihani.

"Elsa jangan nangis lagi ya sayang, ada Mama disini."

Selama ini aku berusaha kuat, karena ada Mama di sampingku. Selalu memberiku pelukan hangat dan nyaman, membuatku tenang dan menasehatiku agar aku tidak perlu mendengarkan perkataan mereka.

Tapi sekarang Elsa sendiri, Ma. Gak ada Mama yang meluk Elsa lagi.

Sejak dulu aku sadar, kalau aku hadir di dunia ini bukan karena kehendak kedua orangtuaku. Aku lahir karena kesalahan yang mereka perbuat.

Aku, anak yang tidak diinginkan.

Bukan satu atau dua kali aku mendengar orang yang mengatakan bahwa aku, anak tanpa Ayah.
Aku selalu bertanya, siapa Ayahku? Kenapa orang selalu mengatakan bahwa aku, anak yang terlahir tanpa Ayah?

Namun rasanya semua pertanyaan itu tidak berguna, saat aku tau ternyata aku masih memiliki seorang Ayah. Bohong, jika aku tidak senang saat mengetahui semua jawaban dari pertanyaanku. Aku sangat senang. Rasanya aku ingin berteriak, dan mengatakan pada mereka bahwa mereka salah.

Suddenly In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang