Setelah kami menikah dalam waktu 1 bulan bu Rafah meninggal dunia. Arjuna sangat panik ketika mendengar telfonku yang mengabarkan keadaan bu Rafah sudah keritis. Ia begitu marah sekaligus panik. Sepanjang perjalanan menuju kampung halamannya Arjuna memijat keningnya terus-terusan untuk menahan air matanya. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun, dia hanya berjalan bulak-balik di gerbong kereta, dan komat-kamit tidak jelas. Ia juga beberapa kali menelfon Bibi Sum. Ia terus menanyakan bagaimana ibu. Sesampainya di stasiun dia tidak memikirkan bagaimana bawaan tasnya. Di stasiun orang-orang mengambil fotonya ada juga yang ingin berfoto dengannya. Dengan nada tegas ia menolak. Aku mengangkat kopernya yang tertinggal. Ia tidak memperdulikan kopernya dan aku. Ia hanya ingin cepat sampai di rumah ibu Rafah. Aku tahu bagaimana perasaannya. Untung saja petugas yang berada di stasiun menolongku. Aku jadi tidak terlalu keberatan.
Di dalam kendaraan Taxi dia juga terdiam, pandangannya memandang keluar.
"Sabar mas sabar.." ujarku ketika ia memarahi supir taxi menyuruhnya mengendarai lebih cepat.
"Ibu.. gimana ibu Aline? Telfon Bi Sum cepat!!" serunya kesal melihat jalanan yang macet.
Akhirnya kami sampai di rumah bu Rafah. Bi Sum membantuku membawakan koper dan bawaan lainnya. Bi Sum menyuruhku masuk tanpa membawa apa pun. Arjuna sudah bersimpuh di samping ibunya.
"Bu ini Juna bu, ibu..." suaranya terdengar parau, tangannya menggegam tangan bu Rafah yang sudah lemah. Aku tidak ingin mengganggunya. Kelopak mata bu Rafah perlahan terbuka.
"Juna, kamu datang nak Uhuk.."
"Udah bu jangan banyak bicara, ibu ayo kita ke dokter"
"Gak perlu nak, ibu sudah lelah meminum obat.."
"Bu jangan tingallin Juna.."
"Juna dengarkan ibu nak, dengarkan ibu dulu.." Arjuna menganggukan kepalanya menurut.
" Aline itu wanita yang cantik, pintar, dan ibu tahu dia bisa menjaga kamu.."
"Panggilkan Aline ke sini nak.."
"Aline..Aline.." panggil Arjuna lembut, dia sepertinya sudah tahu aku dari tadi menguping di balik pintu.
"Mendekatlah nak, ada yang ingin ibu bicarakan.."
"Bu istirahat bu, jangan memaksakan diri" ucapku tidak tega melihatnya bersusah payah bicara dengan nafas tersengau.
"Nak, ibu mau kamu dan Arjuna terus bersama, saling melengkapi. Ikuti permintaan suamimu ini, dia adalah pembimbing jalanmu menuju surga sebagai imam.."
"Apa kamu sudah hamil nak?" tanya Bu Rafah tersenyum. Aku menggelengkan kepalaku lemah, aku tidak mungkin berbicara yang sebenarnya jika kami berdua bahkan belum saling bersentuhan sama sekali.
"Ibu yakin kamu akan segera hamil dan memiliki anak yang cantik dan tampan.."
"Iya bu," jawabku
"Arjuna, jaga Aline ya le.. dia wanita yang tepat untuk kamu.. ibu tidak mau meninggalkan kamu tanpa ada orang yang menjaga kamu. Karena sudah ada Aline ibu bisa pergi dengan tenang.."
"Bu jangan pergi, Arjuna masih membutuhkan ibu.."
"Percayalah nak kepada istrimu, dia adalah bidadari yang tepat untuk kamu.." Bu Rafah menatap kami berdua dengan lembut.
"Mendekatlah kalian berdua," pintanya. Ia mencium kedua pipi kami.
"Melihat kalian berdua ada disini membuat hati ibu tenang, Aline kamu bisa ke depan dulu tinggalkan ibu dan Juna ya ndo.." aku menuruti perkataan ibu dan menunggu di sofa ruang tamu dengan gelisah.
Arjuna berteriak kencang memanggil ibu. Aku segera merangsuk masuk ke dalam kamar. Bu Rafah sudah tergolek lemah. Arjuna menggegam tangannya erat, dan menangis.
Baru pertama kali aku melihatnya menangis seperti ini. Bi Sum juga segera memasuki kamar dan merobohkan tubuhnya.
"Ibu... Innalillahi.." ujarnya. Aku memegang nadi tangan dan nadi leher bu Rafah.
Benar dia sudah tiada..
Aku menitikan air mataku tak kuasa menahan tangis, ia menitipkan Arjuna yang berharga baginya. Apa aku sanggup? Aku benar-benar ragu..
Arjuna sebegitu dinginnya kah engkau padaku? Sampai kau tidak membuka sedikit celah sedikitpun untukku memasuki relung hatimu...
Pelayat datang silih berganti, banyak tamu yang menanyakan dimana Arjuna. Seusai pemakaman Arjuna mengunci diri di kamar dan tidak menyapa tamu sama sekali. Padahal sosoknya sangat dibutuhkan. Sampai malam datang dan tahlilan usai dia juga tidak keluar. Banyak wartawan juga yang ingin meliput berita kematian ibu dari aktor terkenal Arjuna Mahardian. Tapi dia tidak ingin meladeni wartawan-wartawan tersebut. Jadi aku kewalahan menghadapi mereka. Aku mengaku seagai saudara jauh dari Arjuna dan ingin membantu disini. Ibu dan bapak juga sudah datang, untung saja mereka disibukan dengan kegiatan pelantunan doa jadi mereka tidak berbicara macam-macam tentang aku dan Arjuna.
Tokk.Tokk..
Aku mengetuk pintu kamarnya, sedari siang ia belum makan apa pun. Dia juga tidak keluar kamar sama sekali.
"Mas.. makan dulu, aku sudah siapkan. Jangan sampai sakit.."
"Pergi kamu Aline!!"
"Mas.. jangan seperti ini, ibu menitipkan kamu kepada aku. Terus kamu menghindari aku? Bagaimana caranya aku bisa menjalankan amanat ibu kalau kamu begini.."
"Omong kosong Aline! Omong kosong!!"
"Mas aku akan pergi mencari udara segar, kalau kamu mau makan aku sudah menyiapkannya di atas meja. Cepat makan agar kamu tidak sakit" hening tidak ada jawaban. Paling tidak aku sudah mencobanya, dan menjaganya.
Aku berjalan ke halaman belakang mencoba mengembalikan tenagaku dan kesabaranku yang terkuras banyak untuk hari ini. aku tahu Tuhan memberikan aku ujian seberat ini karena Tuhan tahu aku mampu menghadapinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband an Actor
RomanceAku kira semua ini hanya mimpi.. Mencintaimu tidak pernah sejelas ini.. Kamu hanya seseorang yang seperti tokoh fiksi yang aku kagumi.. Tapi takdir mempertemukan kita pada titik yang sama.. Walau kamu tidak mencintaiku.. Aku tahu jelas kamu menjauhi...