Tears - Zavira Aline

1.4K 66 1
                                    

Tekadku sudah bulat, aku akan pergi sekarang! Sudah 4 tahun aku menghadapinya dengan kesabaran yang aku punya. Aku menerima kebohongan dia, aku menerima semua perlakuannya tapi apa yang aku dapat? Nihil.

Aku sudah mengemas semua bajuku di koper biru dongker, tidak semua aku bawa. aku pindah ke sebuah kontrakan kecil yang biaya bulanannya murah. Aku juga meninggalkan buku tabungan sekaligus ATM yang mas Juna berikan. Aku tidak mau lagi dibohongi olehnya. Semua sudah selesai!

Sebelum mobil taksi ku datang aku mengamati seluruh ruangan di rumah ini yang menemaniku selama 4 tahun ini, rumah ini menjadi saksi bisu betapa bodohnya aku, dan keegoisan dari mas Juna. Aku melepaskan foto pernikahan kami yang aku simpan dalam bingkai emas, aku melipatnya dan meletakan dibagian dalam koper. Paling tidak aku memiliki kenangan indah itu.

Tinnn...Tinnn..

Mobil taksi biru sudah sampai, supir membunyikan klakson agar aku cepat keluar dan pergi dari sini. Setidaknya mas Juna tahu bahwa aku mencintainya. Aku merogoh sakuku dan mengambil secarik kertas yang sudah aku tulis dengan rapih. Aku meletakannya di bawah vas bunga dekat dengan buku tabungan. Semua curahan hatiku sudah tertulis di amplop putih itu. Aku tidak akan memberi tahu mas Juna dimana aku tinggal.

Tinnn..Tinnn..

"Iya iya pak tunggu," teriakku dari dalam, aku meninggalkan rumah ini dengan sejuta cinta di dalamnya. Aku berharap saat mas Juna pulang kembali ia akan sadar tentang perasaanku.

Aku mengunci pagar, dan meminta pak supir untuk meletakan koperku di dalam bagasi. Perlahan taksi melaju membawaku pergi. Selama aku menikah dengan mas Juna tidak ada bedanya dengan kehidupanku yang menyendiri.

***

Taksi berhenti di gang kecil, ya maklum saja aku memilih kontrakan ini karena aku menyesuaikan budget yang aku miliki. Kontrakan ini milik bibi Dodi jadi mudah untuk mendapatkannya dengan cepat. Lagipula gang kecil ini akan sulit ditemukan kalau mas Juna mau mencariku. Tapi, mana mungkin mas Juna mencariku, dia sudah asik dengan Marsha wanita cantik itu. Gang sempit ini ramai dengan sekumpulan ibu-ibu yang asik merumpi, anak-anak kecil yang berlarian dan bermain bola. Aku tahu tempat baruku tidak akan senyaman rumah mas Juna.

Rumah dempet bercat putih, dengan satu jendela untuk ventilasi, cat putihnya juga sudah ada beberapa bagian noda kuning. Saat membuka pintu, debu sudah menyambutku. Banyak sarang laba-laba di sudut rumah, sebelum aku menempati rumah ini aku harus membeli peralatan kebersihan dan kasur kecil. Untung saja tabunganku masih cukup, dari freelance menulis website. Aku harus keluar

"Bu permisi, di sekitar sini apa ada pasar tradisional?" ibu berdaster merah yang sedang asik menggosip langsung menjawab pertanyaanku.

"Ada neng, neng tinggal naik angkot 102 aja bilang mau turun di pasar merah," aku mengucapkan terimakasih. Sudah lama aku tidak pergi ke pasar tradisional apalagi membeli peralatan rumah tangga seperti sekarang.

Pasar merah ternyata pasar yang luas semua yang kita perlukan pasti ada disini. Aku membeli kain pel, sapu, kasur, sprei, teko, penggorengan, panci, kompor, gas, bantal, dan guling. Saking banyaknya aku sampai meminta bantuan kuli panggul karena tangan dan kakiku tidak mau berhenti menjelajah pasar ini. Aku tertarik pada kios buku bekas sudah lama rasanya aku tidak membaca novel karena kesibukanku belakangan ini. Untung saja aku mendapatkan izin selama 1 hari dari pak Anton karena ia tidak tahan melihatku menangis dan terus melamun. Walau Pak Anton sempat marah karena takut jadwal ia berantakan.

Mataku tertarik pada buku bercover hitam, dan tulisan sambung bewarna putihnya. Novel itu berjudul "Cinta tidak selalu manis" aku membaca sinopsisnya. Walau kertasnya sudah menguning dan covernya sudah tersobek sedikit. Entah kenapa aku ingin membaca cerita galau. Padahal usiaku bukan usia remaja lagi, tapi biarlah akan aku biarkan hatiku bebas bersedih kali ini.

"Pak saya ambil yang ini, berapa?" seorang laki-laki berkumis tebal menunjukan 3 jarinya.

"30.000?" tanyaku. Ia memanggutkan kepalanya. Aku membayar dengan uang pas, lalu aku meminta kuli panggul untuk membantuku membawakan barang ke mobil online yang sudah aku pesan. Aku memberikannya selembar uang hijau yang ia balas dengan ucapan terimakasih. Sepanjang perjalanan yang kosong itu aku memikirkan asiknya menata rumah kecilku, tanpa ada mas Juna lagi di dalamnya.

My Husband an ActorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang