Aku Tunangan Om-om

10.1K 228 19
                                    

Sesaat setelah aku menghirup napas—yang aku rasa, ini hirupan terpanjang di hidupku, penjual gorengan berteriak menawarkan kenikmatan sesaat, yang kubaca sebagai sindiran garis keras dari sang penjual.

"Onde-onde! Pelipur lara, nikmat sekali!"

Dia tau sekali merayu orang galau sepertiku.

"Onde-onde sama bola-bola ubinya bang, goceng," kataku, seraya menyerahkan lima biji uang seribuan receh dari saku kemeja.

"Jangan cemberut aja neng, pacar mah bisa dicari." Mamang-mamang gorengan sedang membuka kresek saat aku mengelap air dari ujung mataku, dia tersenyum seraya berancang-ancang untuk memberi wejangan.

"Yang namanya jodoh, nggak akan ke mana-mana. Masih muda mah ngga apa-apa neng ganti-ganti pacar ..."

Ya ampun siapa juga yang galau karena pacar, dengan segera aku mendengus, dan menyomot onde-onde dari saringan minyak, "Yee si mamang sok tau banget, dah."

Setelah mengambil kresek berisi gorengan, aku bergegas menuju halte sekolah, lumayan, ternyata halte yang biasanya ramai kini menjadi sepi, mungkin sudah terlalu sore, dan aku baru sadar bahwa aku ngegalau di kelas selama tiga jam.

Duduk di halte yang sepi, membuat pikiranku melayang-layang, aku memikirkan betapa gilanya aku siang tadi, ketika mendengar bahwa ehm, yang dikatakan mamang gorengan jodoh, akan segera ARGH. Aku menggeleng, malas banget mikirinnya, sesiangan tadi pikiranku ngga pernah absen membanyangkan adegan ketika aku punya anak di usia dini, yang bahkan belum tau aku bakal lulus SMA atau tidak.

Ya Tuhan, aku tidak bisa membayangkan gimana rasanya mau jadi penganten!

Damn! ya, aku bakal tunangan! Bulan depan! Dan usiaku, kalau tidak salah baru 17 tahun!

Siapa yang mau sama aku, sih? Oke aku emang ngga punya banyak kelebihan, cuma, kata temen-temenku aku pinter di bidang akademis maupun non-akademis, walaupun aku cuma pernah jadi pemenang olimpiade sains nasional dan olimpiade olahraga nasional cabang lari dan tenis lapangan dan peringkat 1 paralel selama lima semester ini, juga cuma punya—sekitar 24 medali mulai dari perak sampai emas. Aku yang punya banyak kekurangan ini, dilamar sama cowok?!

Dan hey beda usiaku dengan si X ini hampir 10 tahun. Ya ampun aku baru lahir dia udah jadi murid kelas 4 SD.

Aku juga ngga cantik-cantik amat kok. Jadi kenapa harus aku yang jadi calon tunangan dia? Aku mulai menitikkan air mata mengingat hal-hal yang super absurd, seperti misalnya menceboki bayi, memberi ASI. Dan astaga ... malam pertama ...

GOD.

Semakin kubayangkan, semakin kesal dan semakin bikin nangis, saat aku sadar celana olahragaku sudah penuh dengan ingus kering dan banjir air mata, aku mengambil handuk good morning dari saku tas dan menepuk-nepukkannya ke wajah, sambil menyemangati diri dan mengasumsikan bahwa pertunangan tak sekejam yang seperti kubayangkan. Setelah kusadari yang namanya tunangan masih haram, jadi nggak mungkin ada malam pertama. Dan tidak akan ada bayi yang harus kuceboki dan kususui, tidak ada! Yes!

Aku berdiri, memasang kaca mata dan masker, lalu menuntun sepedaku ke rumah. Semoga saja, proposal penolakan pertunangan yang kukirim kepada kakek disetujui. Mohon doanya, teman-teman.

***

Saat memasuki foyer rumah, aku mencium bau tanah yang kentara dan melihat mobil Audy putih punya kakek terparkir, ternyata kakek datang berkunjung bersama nenek juga nenekku yang satunya. Pantas saja bau tanah.

Aku memarkirkan sepeda di dekat rak berisi palu dan kawan-kawan, dan melepas sepatu. Aku baru sadar bahwa mungkin kedatangan kakek punya relasi dengan proposal yang kukirim itu, aku gembira banget, ngga sabar dengar keputusan kakek.

Gak Mau NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang