Aku sekarang lagi nahan keinginan untuk muntah dan menahan keinginan untuk pingsan. Coba bayangkan, aku sedang duduk di sofa, di sebelahku Anto duduk juga, dengan tangannya melingkar di belakang pinggangku erat, lalu tangan sebelahnya melewati perutku, wajahnya dia sandarkan di bahuku. Saat ini tv di depanku sedang menayangkan harimau yang sedang berlari.
Arg, aku ngga tau efek pelukan kaya gini bakal buruk buat kesehatan mental dan fisikku!
"Mama lagi di luar, jadi ngga peluk-peluk juga ngga apa-apa," kataku kecil, dan dia malah mempererat pelukannya sambil menggumam tak jelas. Dia malah keenakan!
Namun tiba-tiba mama berteriak, "TOOOO!"
"APAA MAA, LAGI MESRA-MESRAAN NIH, DON'T DISTURB."
"BELIIN MAMA RUJAK CINGUR!"
Aku menaruh toples berisi keripik lalu menutup ke dua telingaku, anak sama ibu ngga ada bedanya.
"RESIKONYA MAMA NANTI NGGA PUNYA CUCU."
"PELUK DOANG NGGA BIKIN HAMIL. BURUAN."
Aku shock berat.
***
Ya ampun, mimpi apa aku semalam bisa shock sebegini hebohnya. Kata-kata mama dan Anto di rumah tadi bikin kukelimpungan dan sadar, sadar bahwa aku ini perempuan, sadar kalau aku ditakdirkan untuk memproduksi manusia. Ya Tuhan.
Ya Tuhan.
Aku 17!! Mana boleh begituan?! tapi kamu bersuami. Oh iya, lupa. Argh.
"Sakit, Nab?" Anto menoleh ke arahku, aku mendesah, ya ampun melihat wajahnya malah mengingat bayi ...
Tangannya terulur dan menyentuh jidatku, "Hangat,"
Kalau dingin berarti aku mati!
Lalu tiba-tiba bayangan bayi berwajah Anto berkeliaran di kepalaku, bayangan aku menggendongnya sambil semringah, lalu ayah bayi itu mencium keningku sambil mengelus wajah bayi ... pengen muntah jadinya.
"Kamu mau muntah, Nab?"
Ada nada khawatir di suaranya, aku tau itu. Tapi aku tak mampu menjawab sekarang, sekarang aku benar-benar ingin muntah melihat wajahnya yang kubayangi menjadi wajah bayi lelakiku ... kelak. Hueks.
Tiba-tiba Anto meminggirkan mobilnya lalu melepas sabuk pengaman dan mencari-cari sesuatu di mobil, "Tunggu Nab, saya cari kresek dulu,"
"Aku ... aku ngga apa-apa, sumpah." Kataku sambil menutup mulutku.
"Saya ngga tau kalau kamu mabuk kendaraan,"
Astaga, ngga gitu juga kali.
Dia mengernyitkan dahinya, "Kita pulang aja, ya? Nanti saya yang bilang ke mama,"
Aku menghela nafas panjang, "Aku ngga apa-apa, sumpah."
"Janji ngga akan muntah, ya? Soalnya mobil ini baru dicuci." Dia menginjak pedal gas enteng, sementara aku shock lagi. Ternyata dia peduli dengan mobilnya. Oke, Nab, kamu gede rasa.
Sesampainya di entah di mana aku tak tau, aku turun setelah Anto memarkirkan mobilnya, aku menunggu Anto mengunci mobil sembari memandangi tempat ini, yang ternyata adalah pasar tradisional. Terasa asing bagiku, toko-toko di sini ngga pernah kulihat di mana pun sebelumnya.
"Yuk," katanya, aku segera mengekorinya dari belakang.
Pasarnya sangat ramai, aku dikelilingi manusia berbau pasar yang khas, baunya biasa saja, tak bikin aku kembali ingin muntah. Aku bukan anak yang benci ke pasar tradisional, bukan banget. Aku bisa beradaptasi dengan segala jenis manusia, maaf-maaf saja, meskipun lahir dengan sendok perak di mulutku, aku ini sering menemani mbok Yane saat beli ikan bandeng dan ayam segar di pasar, lho. Jadi ini bukanlah perkara besar bagiku.
Yang menjadi masalah sekarang adalah, pasar ini penuh sesak, benar-benar rapat! Anto yang memakai kaus coklat pun tak kutemukan di depanku, aku hanya berjalan mengikuti orang yang di depanku tanpa tau arah mana yang dipilih Anto. Sambil berdoa aku terus berjalan, tapi lima menit kemudian, aku masih dalam kerumunan orang dan tak satupun kulihat dari mareka yang berkaus coklat. Tamat sudah riwayatku.
Ya Tuhan, aku bahkan tak membawa dompet dan lupa menanyakan alamat rumah.
Aku menggigit bibirku sambil melihat sekeliling, sekali lagi, tak terlihat Anto berdiri di manapun. Seharusnya perawakannya yang tinggi bisa langsung kutemukan tapi satu-satunya yang setinggi Anto di sini hanya kayu penyangga sebuah kios. Aku memejamkan mata, merasakan kerudungku tersengat matahari dan keringat mengalir di punggung. Ya Allah, temukan aku dengan Anto.
Aku menunggu lima menit kemudian, sambil berjalan tak tentu arah, masih belum kutemukan Anto. Beribu-ribu kuucapkan doa tapi yang lewat di depanku bukan om-om itu, om-om yang menyebalkan, melainkan encang-encang yang menawari kurma dan cendol. Ah, persetan, Anto belum ketemu!
Aku pikir aku mulai terkena sindrom lebay, karena tak biasanya aku yang (mengaku) independen menjadi khawatir, gundah, galau dan semacamnya. Mataku perih terkena debu yang bertebaran di depanku buatan bekas langkah kaki emak-emak, kakiku rasanya terpaku dengan inti bumi, tak bisa bergerak. Enggan, sebenarnya. Terlalu takut dengan segala macam kemungkinan di depan, bahkan pikiran mengenai penculik dengan mobil jeep, pencopet dan pisaunya yang tajam pun muncul.
Aku tak tau lagi apa yang harus kulakukan selain berserah diri.
Namun tiba-tiba tanganku ditarik, oleh seseorang yang kukenal, yang kusebut om-om, "Pegangan," katanya, "saya ngga mau kehilangan kamu lagi," dia menautkan jemarinya di jemari tanganku, aku bisa merasakan cincin pernihkahan melingkar di jari manisnya, sebentar kulirik cincin itu, dan tak terasa tetesan air mata turun bergantian. Aku ngga mau lepasin tangan itu.
***
Gue menatap tangan gue yang tergenggam oleh tangan Nabila di atas persneling, entah Nabila sadar atau ngga sadar, tapi dia menolak melepaskannya sejak gue temuin dia berdiri di tengah keramaian sembari celingak-celinguk, matanya sudah berkaca-kaca tadi, bahkan gue bersumpah liat dia nangis saat gue nemuin dia.
Pasar tadi penuhnya minta ampun, padahal biasanya ngga seperti itu. Letak kios rujak cingur memang jauh, jadi gue harus melangkah lebar-lebar supaya bos besar ngga marah. Tapi saat itu gue lupa kalau gue berangkat sama Nabila yang ngga tau tempat ini, jadilah kami terpisah. Tapi untungnya doa orang ganteng ini dijabah, sekitar 15 menit kemudian, gue menemukan Nabila.
Sebenarnya ada rasa bersalah bersemayam di hati gue, meskipun ngga sengaja, tapi tetep aja gue bikin nangis anak orang. Apa lagi bocah freak itu tanggung jawab dunia-akhirat gue, mana bisa gue macem-macem.
"Pegangannya dilanjut di rumah ya, ngga bisa nyetir, nih," kata gue kemudian, meskipun sebenarnya masih kepengin begini. Dia langsung terlonjak kaget dan melepaskan genggamannya, lalu menghadap ke kaca selama perjalanan.
Sesampainya di rumah, gue langsung menggenggam tangan Nabila, dan dia ngga menolak, gue menaruh pesanan mama di atas meja pantry dan minta izin untuk pergi ke kamar, "Ma, pa Nabila kurang sehat, dia istirahat dulu, ya. Rujaknya di dapur,"
Mama dan papa mengangguk, gue langsung menarik Nabila ke kamarnya. Setelah menutup pintu, Nabila melepaskan genggaman dan pergi ke kamar mandi. Gue memilih duduk di pinggir ranjang sembari memikirkan apa yang harus gue lakukan selanjutnya.
Nabila keluar dari kamar mandi dengan mata sembab dan hidung merah, dia bahkan sempat mengucek matanya yang juga kemerahan, astaga, gue bener-bener dilaknat Tuhan.
"Nab, kamu ngga apa-apa?"
Dia nggak menjawab, malah ancang-ancang mau nangis. Gue langsung maju dan peluk dia, berharap dia bakal baik-baik aja, itu pasti kejadian kesasar dia yang pertama, dan gue yang bikin dia kesasar untuk pertama kalinya. Gue mengelus-elus puncak kepalanya saat dia sesenggukan di dada gue.
"Makasih udah nemuin aku," katanya kecil.
Rasa bersalah gue makin memuncak.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Gak Mau Nikah
ChickLitNabila Aku 17 tahun, baru saja hengkang dari SMA. Tau-tau, Aku dijodohkan dengan om-om berusia 27 tahun, dan dilamar lewat free call Whatsapp (Kurang romantis apa coba?), sialnya dia tak menerima jawaban selain 'Ya', padahal beribu kali kujawab 'AB...