Pergi

2.8K 96 8
                                    

Aku benci Anto. Benci. Aku benci dia dari ujung rambutnya sampai ujung kukunya. Aku benci dia sealaium gambreng. Ngga ada lagi untaian kata yang bisa mengungkapakan betapa dalam benciku padanya. Dalamnya palung Mariana di Pasifik sana saja kalah.

Sekarang, aku sedang berkemas di kamar. Mengeluarkan semua pakaianku dari lemari dan menumpuknya kembali di koper, Anto berdiri di ujung kamar sambil melipat tangannya di depan dada, melihatku heran. Ngga usah heran deh, yang bikin aku begini kan kamu!

Jadi setelah sore hari aku lari darinya, aku duduk di atas pasir tanpa mengindahkan tatapan bingung (siapa lagi?) tetua yang melihatku. Selepas itu aku langsung kembali ke vila untuk berkemas.

"It isn't serious, is it?"

"Am I look like a joke?" tanyaku ketus. Biar mampus dia.

Dia mendekatiku, berjongkok di samping koper, "Mau ke mana?"

Aku bergeser, memunggunginya, "Ke tempat di mana ngga ada kamu," aku menggeser koperku, "minggir, aku mau keluar." Lalu aku keluar kamar dengan mudahnya, tanpa dia halangi segala. Woah, benar-benar makhluk ini.

Di teras vila, aku menemukan ke tujuh orang tuaku sedang ngeteh bersama, ke empat belas mata itu menatapku tajam. Aku yang sudah mempersiapkan segalanya, mengangkat tangan kananku, menyela nenek yang akan meledak sebentar lagi.

"Aku harus pulang duluan, ada acara mendadak,"

"Ngga sama suamimu?" Mama menaruh cangkirnya.

"Ngga,"

"Ini aku barusan packing, ma," tiba-tiba Anto menggeser tubuhku ke samping, dia menenteng kresek merah besar lalu mengangkatnya dengan bangga, "sisanya mama beresin, ya?"

Aku memijat jidatku. Untung ganteng si Anto.

"Kami pulang dulu ya, ma, pa, yah, mi, grand, nek, kek,"

Dan anto pun mengambil alih koperku, mendorongnya menuju om Yudis yang sudah kuminta untuk mengantarkanku ke bandara. Aku benar-benar tak bisa berkutik ketika Anto menarik pinggangku untuk masuk ke mobil. Di dalam, aku segera melepaskan tangannya dan menjauh sejauh-jaunya.

Di pertengahan perjalanan, aku meminta om Yudis untuk berhenti dan memintanya untuk bilang kepada semua orang yang bertanya tentangku nanti, bahwa aku sampai bandara dengan selamat wal afiat. Dengan berat hati, om Yudis mengiyakan.

"Mbak, serius mau naik taxi?"

Anto membuang wajahnya, "Udahlah pak, suka-suka dia, hidup-hidup dia ini,"

Aku naik pitam seketika, "Iya! Suka-suka aku! Ini hidupku, yang ngatur ya AKU!" aku menutup pintu keras-keras. Benci banget sama dia.

***

Di bandara aku ketemu Anto, di Soetta juga ketemu dia, dan saat aku sampe rumah, batang hidungnya juga muncul. di pesawat, dia juga muncul di pikiranku. He's everywhere, dan aku ngga terima fakta bahwa dia ngikutin aku.

Meski aku masih memikirkan penyebab dia ngga mengakui calon fetusnya di ovidukku, aku kesel sealaium gambreng karena sekarang dia masuk kamarku, dia mendekatiku saat aku mulai membuka lemari. Fatalnya aku harus mundur karena cowok ini terus memojokkanku sampai punggungku menubruk dinding.

"Apa kamu bener-bener harus begini?" katanya, aku menatap mata lelah nan kecewanya.

Harus apa lagi, aku? Kalau dia terus menerus tak mau mengakui calon fetus, jalan terakhir inilah yang harus kuambil. Maka aku mengangguk seraya menatap matanya. Ada kegetiran dalam anggukanku, ada keraguan yang jelas di mataku. Aku sadari hal itu.

Dia mundur beberapa langkah sambil menunduk dan mengangguk, tangannya terayun, "Do whatever you want," dengan putus asa dia keluar sambil membanting pintu.

AKU MAKIN GILA.

Aku menahan tangisku yang sebentar lagi bakal membanjiri kamar ini, mengemasi sisa-sisa pakaianku di lemari untuk kubawa pergi. Menata hatiku yang sudah tak lagi ada bentuknya. Aku pergi sambil berlari kecil, melewati Anto yang ternyata berdiri menonton kepergianku.

Aku menangis, kuharap dia bisa melihatnya.

***

Dear qlean

Yuhuuuu, i'm back!

Sebelumnya gue mau ngasih ucapan terima kasih sebanyak-banyaknya buat  yang udah ngikutin ceritanya Nabila dan Anto sampai sekarang, juga permintaan maaf karena gue sering kabur-kaburan dalam mengupdate ceritanya. Pokoknya ilafyu XD

love,

ipin

Gak Mau NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang